BAGUS SRIMAN CARI ILMU 

 

***************************************************************************************************************************

   

   

   

   

   

       

PEMBUKAAN

PERJALANAN – BAGIAN I

HEMBAN SAWUNG – BAGIAN II  

KYAI PANCINGTAWA – BAGIAN III

NYAI RATU MAS SEKAR – BAGIAN IV

KI SONTOYUDO – BAGIAN V 

KI TANDAYUDA – BAGIAN VI 

PANEMBAHAN ANYAKRAWATI – BAGIAN VII 

KEMBALI – BAGIAN VIII 

AJARAN PUJANGGA KYAI  RANGGA WARSITA 

REFERENSI – SUMBER PUSTAKA

Syair Tripama – Karangan Pangeran Mangkubumi IV

Lima belas tabiat Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit – Seperti yang

Ditulis oleh pujangga Mpu Prapanca     

AJARAN SRI RAMA

BARATA BERTAKHTA SEBAGAI RAJA AYODYANEGARA

MELAKSANAKAN AMANAT DAN AJARAN SANG BIJAKSANA

RAMAWIJAYA

WEJANGAN SRI RAMA KEPADA WIBISANA

Sebelas azas kepemimpinan – dirumuskan dalam seminar TNI/AD pada

Tahun 1966

AJARAN RADEN MAS SOSRO KARTONO

PRASASTI MATARAM

PETUNJUK AKSARA JAWA – DARI SERAT WIRID

 

***************************************************************************************************************************

                                                                                                       

PEMBUKAAN

Nusantara ada pada mulanya

     dikitari debur ombak segara

Disana Mahameru menjulang perkasa

     memangku bumi menjangkau mega

Disana Matahari bersinar jaya

     semarakkan kayangan dunia

Lalu adalah manusia dan desa

   Dan berkembangnya budaya

Petani, pedagang dan para nelayan

   bersama majukan niaga bangsa

Nusantara ada, Nusan jaya

disanalah Kebijaksanaan dan

Pengetahuan yang lahir dan yang datang

berkembang dan dipelajari

dari masa ke masa.

[Back]

  

 

 

PERJALANAN — RAGIAN I

 

1. Bagus Sriman adalah pencari ilmu, yang dahaga akan kebenaran. Ia ingin berguru untuk mengerti, apa yang menjadi landasan pandangan dan tujuan hidup.

2. Telah diseberanginya segara dan ditimbanya pengetahuan serta ditanyanya orang-orang berhikmah. Kakek dan Neneknya, orang tuanya, para pendeta dan guru serta kawan maupun kerabatnya. Masing-masing mengajar buah pikiran mereka dan turut membentuk pribadinya.

3. Telah  dibacanya  kitab  sejarah  dan  tulisan  tangan  orang-orang pandai, menelusuri persamaan maupun perbedaan pendapat mereka. Hingga iapun terpesona kagum, akan tingginya akal budi manusia.

4. Lain pada suatu ketika, didengarnya tentang sebuah tempat berguru. Letaknya di lereng gunung Semeru, di desa Karang Tumaritis, dan dikenal dengan nama Padepokan Pamong Bhuwana. 

5. Menurut sejarahnya, padepokan itu didirikan oleh Ki Badranaya 381 tahun yang lalu, untuk melestarikan ajaran para leluhur.

Kemudian setelah 13 tahun berdiri Padepokan Pamong Bhuwana mencapai puncak kemegahannya sebagai tempat berguru, di bawah pimpinan Janggan Asmara.

Akan tetapi perang dan perubahan jaman telah membuat nama padepokan itu tidak terdengar lagi pada masa kini.

6. Maka mohon dirilah Bagus Sriman pada sekeluarga dan kerabatnya, untuk pergi kearah Gunung Semeru, kearah matahari terbit. Besar keinginannya untuk menerima pengajaran dari Panembahan Anyakrawati, Kyi Pacingtowo, Ki Santayuda; yaitu para guru agung Pamong Bhuwana.

7. Di perjalanannya dilaluinya bumi Parahiyangan, tanah asal orang-orang Sunda. Disinilah dahulu berdiri megah kerajaan-kerajaan Galuh dan Pajajaran, yang diperintah oleh para turunan Prabu Maharaja yang gugur di lapangan Bubat di Majapahit. Tiga rajanya yang paling ternama dan sering disebut dengan nama Siliwangi adalah Pertama Rahiyang Niskala Wastu Kencana, yang mangkat di Nusa Larang. Putranya. Rahiyang. Dewa Niskala, yang mangkat di Guna Tiga, dan cucu Rahiyang Niskala. Niskala Wastu Kencana, yaitu Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pejajaran. Adapun jaman pemerintahan para Prabu Siliwangi di tanah Sunda dikenang terus dalam pantun maupun ceritera rakyat, sebagai masa yang penuh keadilan dan kemakmuran. 

8. Setelah menjelajah tanah Parahiyangan tibalah Bagus Sriman di Cireban, palabuhan pantai utara, yang sejak jaman bahari telah dikenal sebagai pusat perniagaan. Di sana dibaringkan wali terkenal, Syarif Hidayattullah, Gelar Sunan Gunung Jati; yang adalah Putra Nyai Ajeng Rara Santang, Seorang putri Prabu Siliwangi dari Nyi Subang Karancang, istrinya yang kesebelas. Tanpa bermalam Bagus Sriman meneruskan Perjalanannya memasuki daerah Jawa Tengah.

9. Dilaluinya daerah-daerah Tegal, Batang dan Pekalongan, yang pada jaman dahulu kala dikenal Sebagai wilayah kerajaan Pasir dan diperintah oleh para turunan Prabu Siliwangi. Di sanalah tempat kelahiran Ratu Kulon, Permaisuri Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma. Di sana pula dimakamkan Sunan Amangkurat kesatu, yang dalam keadaan sakit melarikan diri karena Istana Plered diserang oleh pasukan Trunajaya. Semakin sadarlah Bagus Sriman, bahwa di mana-mana di Jawadwipa masa silam terus dikenal oleh orang-orang yang hidup di masa kini, sebagai bagian kebidupan manusia seluruhnya.

10. Setibanya di pelabuhan Asem Arang. Bagus Sriman meneruskan perjalanannya menuju kearah selatan, memasuki pedalaman pulau Jawa. Dilaluinya bukit-bukit Ambarawa dan sempat pula ia berhenti di tepi Rawa Pening untuk melihat mengagumi keindahan telaga itu.

Lalu Bagus Sriman menuju kekota Wonosobo dan seterusnya mengunjungi dataran tinggi Dieng. Disaksikannya di sana sekumpulan candi-candi tua, yang diberi nama menurut tokoh Pandawa Lima dan merupakan bangunan keagamaan tertua di Jawa setelah masuknya agama Hindu. Dilihatnya pula telaga biru, yang menurut orang pernah merupakan tempat Dewi Rinjani berenang-renang; serta gua Semar tempat orang bertapa.

11. Dari gunung Dieng Bagus Sriman ke candi Borobudur, tempat pemujaan umat Buddha, yang didirikan oleh seorang turunan Cailendra dalam abad kesembilan. Dari puncak candi, tepat di bawah Stupa Utama lambang Nirwana ia dapat melihat di kejauhan. gunung Merapi dengan kepulan asapnya dan gunung Merbabu yang sepi tidak berapi. Kedua gunung itu bagaikan pengawal kembar bagi wilayah Mataram yang terletak di sebelah selatannya. Kearah Mataram itulah Bagus Sriman meneruskan perjalanannya.

12. Yogyakarta berada di ambang senja ketika Bagus Sriman memasuki kota itu. Udaranya terasa lebih panas dari pada di pegunungan, karena terletak di dataran rendah. Kota itu dahulu dipilih oleh Pangeran Mangkubumi untuk menjadi pusat pemerintahannya, dan diperintah oleh para keturunannya yang kesemuanya menyandang gelar Hamengkubuwono. Di penginapan Bagus Sriman segera terlelap tidur karena lelahnya.

13. Hari masih pagi ketika Bagus Sriman keluar dari kamarnya menuju ke Mrican, disana ia menyambangi makam para leluhurnya dan menaburkan bunga-bungaan sebagai penghargaan akan jasa-jasa mereka. Lalu ia pergi ke Kutagede, yang pernah menjadi ibu kota Mataram dan dahulu didirikan oleh Ki Gede Pemanahan; putranya, Panembahan Senopati dan para pengikut mereka dari desa Sela. Di sanalah mereka dibaringkan dalam peristirahatan mereka. Putra Panembahan Senopati, yaitu Sunan Hadi Prabu Anyakrawati gelar Panembahan Seda Krapyak yang dimakamkan di tempat yang sama; sedangkan Sultan Agung turunan mereka dan raja Mataram yang paling ternama, dimakamkan di Imogiri. Akan tetapi pada hari itu Bagus Sriman tidak memiliki cukup waktu untuk ke Imogiri. 

14. Hari telah agak senja ketika Bagus Sriman kembali ke penginapan. Seusai makan malam segera ia menuju ke kamar, dan tidur selekasnya. Karena keesokan harinya akan rnenempuh perjalanan jauh.

15. Bagus Sriman meninggalkan Yogyakarta ketika hari masih agak gelap. Ia menuju ke arah timur, melewati candi Prambanan, yang didirikan pada jaman Mataram Hindu, untuk memuliakan Batara Siwa. Di dekat Klaten Bagus Sriman berhenti untuk mengunjungi Sendang Dagan dan makam Panembahan Rama, atau Raden Kajoran Ambalik, salah seorang tokoh pemberontakan Trunajaya. Kemudian diteruskannya perjalanan hingga memasuki kota Surakarta tempat Susuhunan Pakubuwana memerintah.

Kota yang terkenal karena keindahan batiknya da kecantikan gadis-gadisnya itu.

16. Dari Surakarta Bagus Sriman menuju ke selatan kearah Wanagiri untuk mengunjungi makam Dutasuwara yang terletak di sebuah bukit gersang di Selagiri.

Setelah itu kembali Bagus Sriman melanjutkan perjalanan ke timur. Dilaluinya desa-desa dan kota-kota kecil serta hutan-hutan kayu. Dilintasinya pula puluhan kali dan dilihatnya para petani bekerja di sawah ladang mereka. Matahari berganti rembulan, terang menjadi gelap dan malampun menjadi siang kembali ketika Bagus Sriman tiba di pelabuhan Surabaya terik matahari terasa menyengat ketika ia memasuki gedung penginapan. 

17. Keesokan harinya Bagus Sriman mengunjungi arca Jaka Dolog, yang menggambarkan Sri Kertanagara sebagai Buddha-Aksobhya, sebelum menuju ke Barat Daya kearah gunung Semeru. Dalam perjalanannya ia berhenti di daerah Trawulan, di dekat kota Majawarna, di mana dahulu berdiri kerajaan Majapahit; sebuah kerajaan yang pernah mengumandangkan cita-cita “Nusantara bersatu” dan di bawah pimpinan maha patih Gajah Mada berhasil memperjuangkan prasetya mulia itu.

18. Di situ dilihatnya candi-candi. bangunan-bangunan serta petilasan-petilasan yang telah ratusan tahun umurnya.

Terlintas dalam pikiran Bagus Sriman beberapa nama yang pernah memerintah Majapahit. Nanarya Sanggramawijaya, raja pertama yang bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana; Rajapatni, permaisurinya, yang dimasa tuanya menjadi Wikuni Buddha; Sri Wikramawardbani atau Bhra Hyang Wisesa, pemenang perang Paregreg; Prabu Brawijaya Kertabumi, yang kehancurannya dalam perang perebutan takhta mahkota diperingati dengan Candra Sengkala “Sirna ilang Kertaning bhumi”.

19. Dalam kunjungannya itu Bagus Sriman bertemu dengan seorang ahli sejarah yang menerangkan kepadanya arti dari gelar raja Majapahit pertama. Demikian penjelasanniya itu :

“Kerta              - Sri baginda mambebaskan jawa dwipa dari kekacauan dan            

                             memberikan  kesejahteraan rakyat.

Rajasa              - Sri baginda merubah suasana gelap menjadi terang.

Jaya                  - Sri baginda memiliki senjata untuk mengalahkan musuh-nusuh

Wardhana       - Sri baginda menghidupkan agama dan melipatgandakan hasil

                             bumi rakyat. 

Terpesona Bagus Sriman mendengarkan, sepintas terlintas dalam benaknya: “Benarkah raja itu semegah gelarnya, dalam memerintah maupun dalam menunjukkan budinya?” 

20. Dari Trawulan Bagus Sriman lalu mengunjungi desa Ngara, di mana pada abad yang lalu seseorang bernama Coolen memperkenalkan agama Kristus dalam wadah kebudayaan jawa, dan mendirikan jemaat yang tertua di Jawa Timur. Dikunjunginya pula desa Majawarna, yang dahulu merupakan pusat gereja Kristen Jawi Wetan, di bawah pimpinan Kyai Paulus Tosari dan pendeta Jellesma. 

21. Dalam perjalanan itu Bagus Sriman melihat pula puluhan langgar kecil dan mesjid agung peribadatan saudara-saudaranya yang beragama Islam. Sewaktu senja hampir tiba didengarnya suara Azan memuliakan Allah dan rasulnya, memanggil kaum muslimin untuk bershalat magrib.

Teringat Bagus Sriman akan cerita babad tantang Sunan Ngampeldenta yang tertua di antara para wali, dan pertama kali manyebarkan agama Islam di Jawa Timur.

22. Sesungguhnya Jawadwipa adalah tanah yang subur bagi bermacam-macam agama dan kepercayaan, yang hidup bersama dalam ketentraman dan kesejahteraan.

Di sana kebenaran seakan-akan terletak di sebuah pura, di atas sebuah bukit kecil, dengan macam-macam tangga yang berbeda akan tetapi menuju kesatu tujuan juga.

23. Pada akhir perjalanannya, tibalah Bagus Sriman di kaki gunung Semeru. Waktu itu pagi hari dan gunung kramat tersebut tampak keemasan oleh sinar sang surya. Bagus Sriman mendapat tumpangan dalam gerobag paman tani, yang sedang menuju ke desa Karang Tumaritis. Desa itu letaknya agak di ketinggian, di lereng gunung.

Semakin jauh mereka menempuh perjalanan, semakin terasa dingin hawa pegunungan, Walaupun matahari bersinar terang. Bagus Sriman bercakap-cakap dengan paman tani, yang bernama Ranutika, yang menceritakan padanya mengenai kebun sayur dan tentang kehidupan di desa.

24. Belum lewat tengah hari mereka telah sampai di pelataran padepokan Pamong Bhuwana. Bagus Sriman melihat ke kanan dan ke kiri, menyerap suasana tenang disekitar padepokan. Tampak sebuah bangunan agak besar, terbuat sebagian dari batu dan sebagian dari kayu, dikelilingi pondok-pondok yang terbuat dari kayu. Rupanya bangunan besar itu, yang dikenal dengan nama Sasana Agung Gitabhuwana, adalah tempat para warga padepokan belajar dan beribadah. Di belakang gunung itu Bagus Sriman melihat pula sebuah bangunan yang lebih kecil, yang baru kemudian diketahuinya bernama Sasana Dirgahayu budaya.

25. Seorang pemuda sebaya dengannya datang mendekati dan memperkenalkan diri dengan nama Tunggul. Kepadanya Bagus Sriman menjelaskan maksud kedatangannya.

Tunggul pun memintanya menunggu sebentar di pendapa, sementara ia masuk ke ruang dalam. Ketika keluar ia disertai seseorang yang sudah agak sepuh, yang ternyata bernama Kyai Pacingtawa. Bagus Sriman dipersilahkan duduk, dan merekapun mulai bercakap-cakap. Kyai Pacingtawa mengatakan menerima baik permintaan Bagus Sriman untuk diangkat menjadi siswa serta menetap di padepokan selama beberapa minggu.

26. Lalu Bagus Sriman diperkenalkan kepada cantrik Hemban Sawung, yang membawanya berkeliling padepokan. Kepadanya ditunjukkan asrama tempat para cantrik tidur. Dibawa pula ia melihat sendang tempat mandi dan kebun sayur tempat para cantrik bekerja. Kemudian ia melihat-lihat peralatan gamelan dan seperangkat wayang kulit yang indah buatannya di Sasana Dirgahayu Budaya, sambil Bagus Sriman berkenalan dengan cantrik-cantrik lainnya. Suasana terasa damai dan manyenangkan di padepokan itu;

Bagus Sriman merasa bahwa ia akan kerasan untuk tinggal di tempat itu selama beberapa minggu.

[Back]

 

 

HEMBAN SAWUNG — BAGIAN I

 

1. Malam pertama di Padepokan tiba bagi Bagus Sriman, yang sedang duduk-duduk di asrama menunggu rasa mengantuk. Dilihatnya Hemban Sawung berjalan ke arahnya, sebabis menalu kentongan di pendapa Sasana Agung. “Belum mengantuk adi?” tanya cantrik kesayangan guru agung itu, sambil duduk di sebelah Bagus Sriman, yang menjawabnya: “Wah belum kakang, mataku masih dibuat terbuka oleh pikiran-pikiran di kepala ini”. Hemban Sawung tersenyum mendengarkan.

2. Kemudian Bagus Sriman bertanya: “Kakang, mengapakah engkau tertarik untuk tinggal di desa dan tidak ingin merantau ke kota seperti banyak dilakukan pemuda masa kini?” Hemban Sawung merenung sebelum menjawab, lalu katanya: “Sebetulnya adi, kemanapun orang pergi untuk menetap adalah merupakan panggilan hatinya sendiri. Ada beberapa orang yang dilahirkan dan pernah pula berguru di padepokan Pamang Bhuwana yang merasa terpanggil untuk turun gunung dan mencari pengalaman di kota-kota, seperti adi ketahui di padepokan ini juga diajarkan ilmu niaga dan tata buku, pertukangan dan pertanian, bahasa dan tata pemerintahan negri kita, yang walaupun tidak semaju seperti di kota tetapi cukup mempersiapkan para siswa menghadapi perkembangan jaman. Demikian adi, panggilan hati ini; sesungguhnya yang terpenting adalah pengamalan ilmu, bukan dimana diamalkannya.”

3. “Aku sendiri merasa terpanggil untuk menetap di Karang Tumaritis, bekerja melayani para guru agung di padepokan ini dan pada waktunya hidup berkeluarga serta meneruskan pengabdian Pamong Bhuwana dalam memelihara ajaran orang tua.

Tapi adi, itu semua kalau diijinkan Gusti”.

4. “Kakang, tolong jelaskan kepadaku mengenai pandangan hidup orang di desa, yang membuat kakang sebegitu cintanya pada daerah ini”.

Demikian pinta Bagus Sriman.

5. Hemban Sawung-pun menjawab: “ Adi, orang di desa itu lebih prasaja atau sederhana dari pada yang tinggal di kota. Mereka hidup bahagia dengan hubungan kekeluargaan yang erat. Maka pepatah-pepatah dari desa itu banyak mengemukakan pandangan kekeluargaan itu.”

6. “Adapun kata yang menjelaskan ini secara lengkap adalah “Gotong royong”, yang artinya adalah “Tolong menolong”, semua memikul yang berat dan semua pula menjinjing yang ringan; seperti juga diterangkan dalam pepatah “Ana setitik didum setitik, ana akeh didum akeh”; artinya, bagi kami sedikit atau banyaknya rejeki, semua harus menikmati dan semua harus berbahagia. Hal ini tidak jauh pula dari bunyi pepatah “mangan ora mangan nek kumpul” artinya adalah mengutamakan kebersamaan, dalam keadaan berkecukupan maupun kekurangan.

7. “Maka salah satu contoh dan pada gotong royong dapat dilihat dalam sewaktu rakyat di desa menghadapi masalah. Seperti bagaimana memasarkan hasil panen, atau apabila sawah ladang kekurangan air, kekurangan bibit maupun terkena hama. Penduduk desa akan merapatkan hal-hal ini dalam acara “Rembugdesa”.

Semua yang hadir berhak menyampaikan pendapat, dengan menghormati kebijaksanaan Kilurah, Kamituwa dan para sepuh lainnya. Lalu keputusan pun akan diambil bersama, dan setelah itu dilaksanakan bersama secara serentak dengan semboyan “Rawe-rawe rantas malang-malang putung”. Karena itulah, adi, cara pemerintahan di desa itu lebih teguh bertahan dari pada pemerintahan raja maupun pemerintahan dewan mentri manapun.

8. “Orang-orang di desa, adi, biasanya tidak sampai hati melihat penderitaan kerabad mau pun tetangganya; seperti yang terungkapkan dalam kata-kata “mesakake, wong ora duwe”.

Mereka juga senang menanggap, seperti nanggap wayang, ngruwat, bancakan, tedak siti, pesta sunat dan lain-lainnya. Apabila orang sedesanya merasa senang melihat keramaian yang diselenggarakan, senang pula orang yang menanggap itu”. 

9. Lalu bertanyalah Bagus Sriman lagi: “Kakang Hemban Sawung, memang aku perhatikan betullah kata-kata kakang mengenai orang-orang di desa itu. Sekarang beritahukanlah aku kakang. Apakah yang menjadi pegangan hidup mu?”.

10. “Bagus Sriman”, jawab Hemban Sawung “Sebetulnya sederhana saja pegangan hidupku itu. Namanya adalah pandangan “mikul duwur mendem jero” yang artinya : memikul tinggi cita-cita, ajaran serta perjuangan orang tua, dan memendam dalam kesalahan maupun keburukan mereka.” Orang tua, atau orang yang harus dituakan adalah pribadi yang terdekat dengan kita.

Mereka itulah yang pertama kaji mengajar dan senantiasa memberkati kita dengan doa restu mereka. Sesungguhnyalah seperti kasih Hyang Gusti pada manusia, demikianlah kasih orang tua pada anak-anaknya.”

11. Sementara mereka bercakap-cakap, malampun semakin larut pula. Maka beranjaklah Hemban Sawung dan Bagus Sriman dari tempat mereka duduk, dan masuk ke ruang dalam menuju tikar tidur masing-masing. 

2.1. Banyaklah Bagus Sriman belajar dari Hemban Sawung, Cantrik yang bijaksana itu. Karena ia mengajar tidak sekedar dengan kata-kata, akan tetapi dengan perilaku dan budi pekertinya yang halus. Semakin lama mereka bergaul dan saling mengenal, bertambah suka pula Bagus Sriman akan pribadi kakak seperguruannya itu. 

2.2. Pada suatu siang, ketika mereka berdua sedang mencuci pakaian di sungai, Bagus Sriman menanyakan mengenai dasar-dasar peri-kehidupan duniawi pada Hemban Sawung.

Demikian katanya: “Kakang, apakah gunanya tata krama atau tata pergaulan itu?” 

2.3. Maka jawab Hemban Sawung: “Adi, Bagus Sriman, dalam hidup, seseorang memiliki hak dan terlebih lagi, tanggung jawab. Ia memiliki sesama anggota masyarakat yang lebih muda, lebih tua dan yang sebaya. Karena itulah ia diharapkan untuk hidup bergaul menurut tata krama yang berlaku.

Tata krama sendiri adalah ciptaan manusia yang lahir dan hidup bersama dalam masyarakat; karena itu tata krama adalah: alat pengikat manusia dan tanda keanggotaannya di dalam masyarakat tersebut”.

2.4. “Janganlah beranggapan bahwa bentuk tata krama itu akan tetap sama sepanjang waktu. Jaman beralih jaman, dunia terus berputar seperti roda cakra dan nilai-nilai baru terus-menerus dilahirkan, maka tata kramapun berubah serta berkembang, dan seseorang berhak memperbaruhinya, tetapi apabila tidak diterima masyarakat janganlah memaksakan perubahan”.

2.5. “Selain itu tata krama juga berbeda-beda dan daerah ke daerah, dari negara ke negara. Lain masyarakat lain pula aturan pergaulannya, karenanya pandai-pandailah kita membawa diri. Seperti kata pepatah melayu ‘Lain padang lain belalang”.

Akhir kata turutilah tata krama agar jangan orang tersinggung karena celaan orang”.

6. “Maka kunci dari pada tatakrama itu adalah sopan santun, tahu diri dan sikap rendah-hati. Dalam arti kata lain adalah sikap ‘Tepasalira lan tenggang rasa’ atau pandangan bahwa kita memperlakukan orang seperti kita ingin orang memperlakukan kita dan bahwa kita selalu menghormati perasaan orang”.

7. “Merasa puas dengan penjelasan itu, Bagus Sriman bertanya lagi: ‘Kakang Hemban Sawung di negeri ini banyak orang takut untuk melanggar pantangan-pantangan yang diwarisi.

Baik atau burukkah itu ?“

8. Demikianlah jawab Cantrik Hemban Sawung:

“Adi, pantangan-pantangan itu adalah hasil dari pada terbentuknya tata krama sendiri, berdasarkan pengalaman-pengalaman leluhur kita. Terserah akan dipatuhi atau tidak, yang penting adalah apabila mematuhi pantangan itu mendatangkan rasa bahagia. Apabila tidak ya janganlah dituruti.”

9.“Tapi dengarlah Adi, sebuah ajaran yang bagus; yang dikenal dengan nama ‘malima’ atau ‘pantangan’, yang baik untuk direnungkan secara mendalam. Pantangan yang pertama adalah ‘madat’, yang patut dijauhi karena dapat mengikat seseorang pada kenikmatan suatu benda; akan tetapi sebenarnya tidak menyehatkan tubuh dan dapat melemahkan jiwa.”

10.”Pantangan yang kedua adalah ‘madon’ atau bemain wanita, yang dapat menjerumuskan seseorang pada kejatuhan martabat.

Hilang rasa tanggung jawabnya, dan terjajah pribadinya oleh nafsu.

Ketiga adalah ‘main’ atau ‘berjudi’. Hilang sifat hemat orang yang gemar berjudi, dihamburnya harta tanpa tujuan dan lupa ia pada keluarga, tanggungj awab dan tujuan hidupnya.”

11. “Ke empat adalah ‘minum’ atau kegemaran bermabuk-mabukan. Jauhilah itu, sebab banyak minum membuat orang lupa diri dan menjadi bahan tertawaan masyarakat.

Ke lima adalah ‘maling’ atau perbuatan mencuri. Kasihan seorang pencuri karena ia dimusuhi negara dan hukum, serta masyarakat mencela namanya dan akan merasa malulah keluarganya”.

12. Bagus Sriman mendengarkan seluruh ucapan Hemban Sawung dengan penuh perhatian, sambil mencernakannya dalam benaknya. Suara arus sungai dan keindahan alam pada siang itu menggugah hati sipelajar, untuk mempertajam perasaannya dalam mengusahakan melihat kebenaran-kebenaran yang tersirat dalam kata-kata kawannya itu.

[Back]

 

 

KYAI PACINGTAWA — BAGlAN III

 

1. Di hening senja terasa angin dingin berhembus menyegarkan tubuh yang lelah dan jiwa yang lesu. Tetumbuhan dan dedaunan pohon nampak bagai panji-panji pasukan bhayangkara, berkibar lembut.

Suara merdu gamelan terdengar sayup-sayup sampai bangsal ‘Dirgahayu Budaya’ mengantarkan sukma manusia ke dunia kahyangan. Bayang bayang hitam tergugah di sana-sini oleh karena sinar perak rembulan. Sesungguhnya keindahan itu adalah menuju kebenaran.

2. Bagus Sriman melangkah perlahan menuju ke pendapa, untuk menemui Kyai Pacingtawa yang dilihatnya duduk merenung di sana. Sewaktu menaiki tangga dilihatnya wajah tua Ki guru tersenyum, dikelilingi sinar temaram dian kecil. Diucapkannya salam, lalu ia duduk menghadapi Sang Kyai. Keduanya merenung nenatap malam, seakan-akan dahaga ingin mereguk pemandangan jelita di hadapan mata mereka. 

3. Suara Kyai Pacingtawa terdengar memecah keheningan: “Nak Bagus, dapatkah engkau melihat, bahwa sewaktu manusia dibuat oleh sesuatu yang indah sesungguhnya ingin lari dari kehidupan yang sia-sia? Ya, bahwa hidup adalah kesia-siaan yang tak terhindarkan; yang mendatanglan penderitaan dan penderitaan itu tak terluputkan oleh seluruh manusia, dimana air mata merupakan bagiannya.

4. Dengan penuh rasa heran dan ketidak mengertian Bagus Sriman pun bertanya: “Kyai, mengapakah hidup merupakan satu penderitaan, dan apakah yang dimaksud sebagai penderitaan itu?”

5. Kyai Pacingtawa tersenyum mendengar pertanyaan muridnya, lalu iapun meneruskan ucapannya:

“Sewaktu manusia lahir, ia menangis meminta perhatian orang tuanya. Kehadirannya di dunia menambah beban dan kesusahan bagi orang tuanya. Sewaktu telah dewasa iapun mendapat beban dan tanggung jawab, di samping didorong oleh keinginan keakuannya untuk memuaskan hati dengan memburu waktu dan kesempatan.”

6. “Setiap hari dijumpainya keinginan diri sendiri yang harus terpuaskan. Ia ditantang dan menantang; memberi dan meminta; dituntut dan menuntut; hingga tak pernah ada kepuasan hati itu. Sungguh benarlah yang dikatakan pepatah jawa ‘wong urip iku susah bungah, bingung piya-piye’ atau ‘orang hidup itu sudah-senang, selalu diliputi rasa bingung’. Artinya, nak, sewaktu belum memiliki sesuatu orang merasa susah, tetapi setelah memilikinya rasa senangnya berlangsung sebentar untuk kemudian hilang lagi karena kini diinginkannya yang lebih.”

7. Lalu kata Bagus Sriman: “Memang benar paman Kyai akan tetapi hidup itu sendiri adalah suatu anugerah Gusti yang harus dijalani, dengan seluruh akibatnya, baik maupun buruk.

Karena itulah manusiapun bersedia menjalani senang maupun susahnya hidup. Tanpa kesadaran ini manusia lalu menjadi malas dan melupakan hak maupun kewajibannya.

8. Kyai Pacingtawa pun menjawab: “Benarlah sesungguhnya hidup itu merupakan suatu anugerah, yang gampang apabila dianggap gampang, dan susah bila dianggap susah. Seperti terungkapkan dalam kata-kata ‘wong urip ora gampang; diarani gampang ya gampang, diarani susah ya susah!’ Adapun hidup yang sejati adalah hidup yang di renungkan secara mendalam. Karena di dalam hidup yang dicari adalah kebaikan sejati, dan letak kebaikan sejati itu adalah pada kebahagiaan rasa dan kebenaran. Maka hidup yang berdasarkan nafsu ‘menang dewe, benere dewe, butuhe dewe’ tidaklah akan membawa orang kepada kebaikan sejati.”

9. “Kebahagiaan yang datang dari kepuasan diri belaka adalah kebahagiaan yang semu. Lihatlah hatinmu, lain jawab secara jujur apabila engkau merasa bahagia karena berhasil menjadi kaya dan mempunyai nama. Ketahuilah bahwa benarlah kata-kata ‘nyawa gaduan, banda sampiran’; Semua yang engkau miliki itu hanyalah titipan dari Tuhan bagimu.”

10. “Periksalah batinmu, dan beritahukan apabila engkau bahagia karena berhasil menolong sesamamu. Apakah engkau menolong sesamamu hanya karena ia sesamamu, ataukah engkau karena ingin mendapat pujian semata atau mengharapkan balas jasa? Milikilah sikap ‘ambeg paramerta’ atau kesediaan untuk menolong dan memberikan yang menjadi kepunyaannya, bagi siapa saja yang membutuhkan”

11. “Dengarlah ajaran Begawan Yogiswara kepada Prabu Dasarata ‘Hidup itu disamping menyembah dan bertakwa kepada Tuhan, harus memiliki tiga hal, yaitu harta/kekayaan, wirya/martabat dan triwinasis/pengetahuan. Tanpa harta, wirya dan triwinasis manusia akan menjadi miskin dan kere gelandangan (papa hariman geIandangan). Demikian nak, ketiga syarat hidup itu harus dimiliki, agar engkau dapat manjadi sesamamu tanpa pamrih. Karena pada hakekatnya mengasihi sesamamu adalah bertakwa kepada yang Maha Kuasa.”

12. “Adalah pula dua buah ungkapan yang merupakan pendukung bagi nasehat Begawan Yogiswara itu. Pertama adalah ‘Ngunduh wohing pakarti’, artinya bahwa senang-susah maupun baik-buruk adalah hasil perbuatan kita juga.

Kedua adalah filsafat ‘Lemah teles’ (tanah-basah) artinya masyarakat adalah tanah yang subur, dan apabila kita tanami akan menyebabkan tanaman itu tumbuh dan berbuah.

Janganlah tebarkan bibit penderitaan, tapi tebarkanlah bibit kebaikan."

13. Setelah terdiam sejenak, Kyai Pacingtawa melanjutkan: “Selain dan pada itu benar pula kata-katamu tadi bahwa dalam hidup ada hak dan kewajiban. Tapi bagi mereka yang belum mengenal batinnya, susah untuk membedakan antara keduanya, seringkali orang lebih mengutamakan hak dari pada kewajiban.”

14. “Apabila semua orang mementingkan hak dari pada kewajiban, terjadilah seperti yang dikatakan dalam pangkur dan serat wedhatama, yaitu: ‘Susumah sesongaran yen mangkono kena ingaran katungkul, karem ing reh kapra wiran artinya: ‘menyombongkan, memamerkan kelebihannya, tergila-gila akan keberaniannya’.

Demikianlah semua merasa mampu, semua perlu berada diatas. Berubahlah nilai hidup: karena merasa memiliki hak, yang sama dengan cinta diri sendiri.”

15. “Akan terjadilah kemudian, kematian yang paling mengerikan, yaitu matinya rasa perikemanusiaan. Sesuai dengan kata-kata Sri Kresna pada Arjuna:

‘Mati yang paling hina adalah apabila Ksatria mati adilnya, prajurit mati keberaniannya, pandita mati kejujurannya dan wanita mati rasa malunya’.

Oleh karena itu hiduplah, hak, dan kuasai batinmu.”  

16. Ingin mengetahui lebih dalam, Bagus Sriman pun bertanya: “Kyai yang terhormat,, apakab batin manusia itu dan bagaimanakah menguasainya?” Kyai Pacingtowo menjawab: “Ketahuilah, bahwa batin adalah sukma, yaitu yang dapat dijelaskan sebagai ‘ingsun’ atau ‘aku’ dari manusia. Dialah yang menjadi medan pertempuran antara hati nurani dan nafsu. Hati nurani dapat diandaikan sebagai corong suara Sang Gusti, sedangkan nafsu adalah badan yang berbicara melalui otak dan panca indera manusia. Menguasai batin sesungguhnya berarti mengikuti akal budi, yang merupakan hasil dari pada pertentangan antara hati nurani dan nafsu.”

17. “Para pandita di jaman dahulu kala mengajar manusia untuk mengurangi makan dan tidur, atau ‘cegah dahar lawan guling’ serta merenungkan keadaan batinnya. 

Demikianlah yang diajarkan oleh Pangeran Mangkunegara IV dalam surat Wedhatama:

‘Hamung nyenyuda hardaning kalbu, pambukane tata-titi ngati-ngati, atetep telaten atul, tuladan marang waspaos’

Artinya,

‘Hanya dengan mengurangi keangkaraan hati, dimulai dengan teratur, cermat, berhati-hati, tekun, rajin dan tidak mudah tergoda, itulah sifat arif bijaksana’

Dan lagi,

‘Tata-titi, ngati-ngati, atetep telaten atul, sareh santa kareng laku, kalakone saka heneng, hening, heling lan hawas’

Artinya,

‘Teratur, cermat, hati-hati, tekun, rajin tidak mudah tergoda, semua tindak-tanduk harus sabar, sareh, saleh, terang jernih, syahdu, sadar, ingat dan waspada.’

maka dengan ketekunan dan kesabaran akan tercapailah yang dicita-citakan, yaitu menemukan diri seperti diungkapkan dalam kata-kata:

‘Lamun yitna kayitnan kang mitayani. Tarlen mung pribadinipun kang katon tinonton rono.’

Artinya,

‘Asal tetap waspada dan berada dalam ketenangan yang sempurna, maka yang tampak hanyalah dirinya sendiri’

Demikianlah nak, carilah dirimu, maka engkau akan menemukan rahasia alam semesta. 

18. Sementara Bagus Sriman cermat mendengarkan ajaran Kyai Pacingtawa, malampun makin bertambah larut. Terdengar bunyi kentongan ditalu sebelas kali. Maka guru dan muridnya, dua orang yang mencari kebenaran itu, lalu saling mengucapkan selamat malam untuk kemudian pergi ketempat istirahat masing-masing, sewaktu dipembaringan masih terngiang-ngiang di telinga Bagus Sriman kata-kata gurunya tadi, mengantarnya lembut ke dunia mimpi.

[Back]

 

 

NYI RATU SEKAR — BAGIAN IV

 

1. Pagi hari datang diiringi suara kokok ayam di desa, surya belum lagi mengangkasa untuk mengusir suasana gelap. Kelelawar-kelelawar hitam beterbangan pulang kearah pohon-pohon rindang di pinggir jurang, sementara cicit burung mulai menyemarakkan suasana.

Terdengar suara kentongan berulang-ulang, membangunkan mereka yang tidur, agar bersiap menghadapi hari baru. Tak lama kemudian telihat para cantrik dan warga padepokan lainnya, berkelompok-kelompok, menuju pancuran untuk mandi menyegarkan diri.

2. Seusai mandi berkumpullah mereka semua di Sasana Agung Gitabhuwana bersama beberapa penduduk Karang Tumaritis. Semua bersiap sedia memanjatkan doa kepada Hyang Maha Luhur, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sebagian bersila merenung, tetapi ada pula yang bertutur dan berdiri. Semua dengan hormat menundukkan kepala menghadap ke Timur. Angin segar menghembus masuk melalui bagian-bagian gedung yang tak berjendela.

Nampak Bagus Sriman bersila di bagian belakang, kedua tangannya membentuk sembah. Tiba-tiba matanya melirik kekanan mencuri pandang kearah Gayatri yang sedang berlutut dengan mata tertutup. Bagus Sriman mendesah lembut melihat gadis itu, kemudian kembali menatap ke depan memandang punggung para guru agung, yang akan memimpin persembahyangan.

3. Setelah keadaan benar-benar hening dan tenang, terdengar suara berwibawa milik Panembahan Anyakrawati mengucap dengan hikmat,

“Pada mulanya adalah Hyang Tunggal, yang menciptakan alam semesta dan manusia lalu memancarkan dari keagungan-Nya Karma, Darma dan Pangastuti.

Oleh Karmalah semua perbuatan manusia dapat ganjaran-Nya yang adil.

Melalui Darmalah manusia menuju kepada kebahagiaan rasa dan kebenaran.

Dengan Pangastuti manusia mengabdi memaju hayuning bhuwana, sepi ing pamrih, rame ing gawe.”

4. Lalu semua yang bekumpul di sasana Agung bersama-sama mengucapkan nama-nama Tuhan yang suci :

“Gusti sangkan paraning dumadi

Gusti Sang Hyang widi Wasa

Gusti Sang Hyang Jagadnata

Gusti Hyang Wenang  . . . . Asmarasanta . . . . Asihprana

Pangeran Ingkang Maha Agung . . . . Maha Rahim . . . . Maha Adil . . . . Maha `           Wasesa . . . . Maha Langgeng

Gusti Sing Tan Kena Kinaya ngapa Katresnaning Sukma manungsa.”

 

5. Setelah beberapa saat berlalu dengan penuh kesenyapan, Bagus Sriman mendengar suara lembut Gayatri membacakan syair “Tumedakipun Hyang Gusti’; yang berbunyi demikian:

“Saestu binerkahan nusa punika kaliyan kanugrahan karaharjaning kraton Swarga ingkang kebak kalubering tresna amargi Gusti ingkang Maha suci sampun tumedak

bade manggihi putra-putranipun lan maringi prajanjian suci

Kamulyaanipun maringi pepadang siti pariden lan aliran tenang puluhan sungai

Kebingahan ingkang sumarak ngebaki tanah pusaka.

Donya lan saisinipun sami ngidung lan sami sujud dateng Allah Sang Rama ingkang langgeng

Rungookna O Nusantara

Gusti iku Allah Kita, Gusti iku Mahasuci!”

 

6. Terpesona Bagus Sriman mendengarkan pembacaan syair itu. Suara lembut Gayatri terasa menenuhi relung hatinya dengan kenikmatan yang indah sangat. Lalu lekas dikuasainya perasaan hati, dan bersama dengan semua yang hadir mengucapkan prasetya Padepokan Pamong Bhuwana:

“Kawula bade sujud bakti marang Gusti Kawula bade sujud bakti marang sesami”

Lalu bangkitlah Bagus Sriman bersama para cantrik yang lain, dan dipimpin oleh Hemban Sawung menuju keladang sayur untuk bekerja.

7. Mencangkok, menanam dan menggemburkan tanah Bagus Sriman dan kawan-kawannya bekerja. Pisau, pacul dan sabit di tangan membantu mereka menjalankan tugas.

Sayur-sayur yang matangpun dipetik dan dikumpulkan di keranjang-keranjang yang telah di sediakan; serta bibit-bibit baru ditanam tanah yang telah diolah dan diberi pupuk.

Di atas, Sang Surya Aditya bersinar gemilang menyehatkan semua yang bekerja di ladang. Lalu pada tengah hari semua beristirahat untuk makan siang, sebelum kembali. meneruskan yang belum diselesaikan.

8. Sewaktu matahari telah agak condong ke arah barat, Bagus Sriman melihat Gayatri berjalan di pendakian menuju rumahnya. Terlihat ia susah payah membawa sebuah keranjang berisikan beberapa butir buah nangka muda.

Segera Bagus Sriman berlari mengejarnya dan menawarkan diri untuk membawakan bebannya itu. Hatinya merasa senang ketika gadis itu menyerahkan keranjangnya untuk dibawakan;

Lalu mereka berjalan bersama, sambil Bagus Sriman berfikir keras mencari upaya untuk memulai percakapan dengan Gayatri.

9. Belum lagi ia sempat mengutarakan apa-apa yang berarti, telah tiba mereka di halaman rumah Gayatri. Dilihatnya Nyi Ratu Mas Sekar sedang duduk makan sirih di pendapa muka. Segera Gayatri mengambil keranjang buah nangkanya seraya mengucapkan terima kasih, sementara Ibundanya menyuruh Bagus Sriman duduk.

Mulailah mereka beramah-tamah membicarakan berbagai-bagai hal yang ringan.

Berkembang hati Bagus Sriman melihat Gayatri keluar membawa wedang teh dan panganan kecil; akan tetapi kegembiraannya menyusut ketika gadis itu kembali ke dalam.

Sedikit merasa terpaksa ia, harus berhadapan dengan ibunya.

10. Percakapan pada sore itu, akhirnya beralih menjadi pengajaran oleh Nyi Ratu Mas Sekar. Mulanya ialah ketika ibu itu mengatakan bahwa kebenaran yang telah diajarkan turun-temurun di tanah Jawa berlaku dari masa ke masa, walaupun pada jaman kini pengutaraannya menggunakan hahasa dan cara yang berbeda. Demikianlah kata Nyi Ratu:

11. “Banyak orang menyangka bahwa pengetahuan yang baru dan berasal dari seberang lautan lebih sesuai untuk menghadapi perubahan jaman, hingga meninggalkan warisan leluhurnya. Memang perlu orang mempelajari hal-hal baru, tetapi meninggalkan ajaran orang tua sama halnya dengan memotong akar dari pohonnya, yang akan mematikan pohon. Nak Bagus, akar itu adalah kepribadian bangsa. Apabila engkau melepaskan kepribadianmu maka engkau akan menjadi orang asing di tanahmu sendiri.” 

12.a. Setelah memberi waktu bagi Bagus Sriman untuk mencernakan apa yang baru dikatakannya, Nyi Ratu Mas Sekar lalu melanjutkan: “Hal ini terkandung dalam pepatah Jawa yang mengatakan ‘aja lali jawane, elok jawane den emohi’. Adapun orang di tanah ini pada dasarnya mempunyai sikap-sikap tertentu, yaitu ingin dekat dengan Tuhan, sehingga mementingkan masalah rohani selain ilmu kebendaan. Karenanya mereka mengutamakan unsur jiwa rasa; seperti yang dikatakan dalam pepatah ‘wong jawa nggone rasa, pada gulangening kalbu, ing sasmita amrih lantip, kuwawa nahan hawa, kinemat kamoting driya’. Selain itu mereka juga memelihara seni budaya seperti pewayangan, ilmu keris, seni bangunan perlambang, gamelan dan karawitan serta kesusastraan. Demikianlah nak, kekayaan naluri budaya penduduk jawa dwipa.”

12.b. “Tapi ibu, orang jawa juga orang yang terikat oleh takhyul dan bermacam-macam kepercayaan yang bodoh. Karenanya bagaimana dapat mereka maju tanpa membuang yang lama dan menggantinya dengan yang baru?” Demikian Bagus Sriman menyela pembicaraan Nyi Ratu Mas Sekar.

13. Ibunda Gayatri tersenyum lalu menjawab celaan anak muda itu: “Nak Bagus, ‘aja dumeh’ (jangan mentang-mentang). Seperti dikatakan dalam pepatah ‘Pinter nanging aja minteri, sugih nanging aja sumugih’, yang artinya adalah jangan menunjukkan kepandaian jangan menunjukkan kekayaan’.

Maksud ibu demikian nak, janganlah engkau merasa bahwa engkau lebih tahu mengenai hal-hal yang membahagiakan orang lain.”

14. “Bagi banyak orang kepercayaan terhadap diri sendiri tidaklah terletak pada pengetahuan akan kemampuan dirinya belaka, tetapi juga pada pengamalan kemampuan mereka menurut tata cara yang telah diwariskan. Oleh karena itu mereka memilih hari-hari baik, memohon restu dari tempat keramat serta memperhatikan sasmita alam sebelum melaksanakan pekerjaan.

Bagi mereka berlakulah pepatah ‘Ora ilok, mengko mundak kuwalat’, yang artinya ‘tidak baik, nanti kena celaka.’ Makna dan pada pepatah itu adalah supaya seseorang dalam bekerja jangan sampai melanggar pantangan atau menodai petuah orang tua. Pada dasarnya nak, masalahnya tidak terletak pada takhayul itu tadi tapi pada pengalaman hidup yang berbeda-bada. Yang terpenting janganlah sampai engkau memaksakan pendapatmu pada orang lain.”

15. Kagum Bagus Sriman mendengar uraian Nyi Ratu Mas Sekar. Tanpa disangkanya seorang wanita sederhana dapat memadamkan kebanggaannya pada kepandaian diri sendiri.

Maka katanya: “Ibu, terimakasih karena kata-kata ibu telah membuka penglihatan ananda. Ajarlah murid ini lebih lagi dengan kebijaksanaanmu.”

16. Berkatalah Nyi Ratu Mas Sekar: “Nak, kepandaian yang utama tidaklah terletak pada pribadi yang mengajar, karena guru yang terpandai pengalaman hidupmu sendiri.

Ki Guru Raden Mas Sosrokartono pernah mengatakan ‘murid gurune pribadi; amulangake sengsarane sesami, ganjarane ayu lan arume sesami. Makna dari ucapan itu adalah bahwa engkaulah guru, engkaulah murid. Dan engkau mencari ilmu pengetahuan karena engkau ingin mempelajari penderitaan sesamamu; sedangkan kepuasan dari pengetahuan terletak pada kebahagiaan sesamamu. Adapun intisari dari pada itu semua ialah prasetya ‘Sujud bekti marang sesami’ yang kita ucapkan bersama setiap pagi di sasana Agung Gita bhuwana.”

17:”Dapat dijelaskan pula bahwa ‘Sujud bekti marang sesami’ diterjemahkan sebagai menghormati sesamamu manusia. Ajaran ini dapat diterangkan dengan kata-kata:

            ‘Jika ingin selamat hormatilah ibu,

            Jika ingin mulia hormatilah ayah,

            Jika ingin pandai hormatilah guru,

Jika ingin jaya hormatilah persahabatan kawan,

Jika ingin bahagia hormati dan bantulah mereka yang membutuhkan pertolongan

Sesungguhnya itulah jalan kebenaran dan jalan kebenaran itulah hidup. Janganlah pertolongan dihargai dengan uang ‘tetulung aja dikertaaji’ karena pertolongan dari dan bagi sesama adalah sesuatu yang indah dan luhur, yang mengikat dua jiwa manusia.”

 

18. Lalu berkatalah Bagus Sriman: Ibu Ratu Mas Sekar, berbicaralah sekarang tentang dua jiwa manusia dalam hubungan asmara maupun persahabatan. ”Tersenyum Nyi Ratu mendengarkan permintaan anak muda itu. Sebelum berbicara sekejap ia menengok ke dalam. Lalu katanya: “Hubungan asmara sesungguhnya adalah persahabatan yang luhur, asalkan terkandung didalamnya tidak hanya gairah birahi, tetapi juga kasih dan kesatuan rasa. Hubungan ini dapat menjadi langgeng seperti hubungan ‘mimi lan mintuna’, yaitu kemana pun selalu bersama, tidak terpisah dan tidak terceraikan.”

19. “Dalam pewayangan contohnya adalah Dewi Drupadi yang setia suami dan adik-adik iparnya selama Pandawa dibuang ke hutan, dan juga Dewi Srikandi yang bahkan mengikuti suaminya kemedan Baratayudha. Maka apabila mencari pasangan hidup, upayakanlah wanita yang ‘suci ati, suci rupi lan suci uni’, yaitu yang bukan hanya cantik wajah tetapi cantik hatinya; yang di kala senang akan menyertai dan di kala susah akan mendampingi. Dan persembahkanlah kepadanya sepenuh jiwa ragamu, bukan kekayaan atau martabat belaka. Karena benarlah ucapan Ki Ranggawarsita yang mengatakan ‘Wadon nir wadonira, karana kaprabaweng salakarukmi’, yaitu ‘Wanita hilang kewanitaannya karena emas dan perak’.

Sesungguhnya kasih dan perhatianmu akan lebih dihargainya dari pada kereta kencana dan mahkota permata.”

20. “Apabila tidak sampai tujuanmu, yaitu apabila kekasih meninggalkan engkau atau sahabat melepaskan kesetiaan, janganlah putus asa. Marahlah tapi jangan memelihara dendam – ngono ya ngono, nanging aja ngono —, apalagi mengharapkan ia celaka.

Karena apabila tertimpa bencana karena perbuatannya, engkau pula yang akan merasa sedih. Hal ini sesuai dengan pepatah Jawa ‘tega larane, ora tega patine’, Sadarlah, ‘Jagad ora mung segodong kelor’, dunia ini luas nak. Akanlah engkau dapatkan pengganti bagi dia yang telah hilang.” 

21. “Menghadapi kejadian semacam itu, ‘aja lali marang asalmu’, yaitu Tuhan, sumber segala peristiwa di dunia manusia. Bersikaplah ‘pasrah, sumarah lan narima’, dengan menganggap bahwa yang dicita-citakan hati ‘durung diparengake Gusti’ (belum diijinkan Tuhan). Serahkanlah isi hatimu kepada Dia yang mengatur alam semesta. Katakanlah dalam hatimu “Nyuwun sekar melati ingkang mekar hing punjering ati’ dan jelajahilah dunia dengan pikiran terbuka. Maka sekar melati itu, atau kasih sejati akan semerbak mekar dilubuk hatimu. Lalu pada akhirnya engkau akan temukan jodohmu yang sebenarnya. Demikianlah nak.”

22. Sementara Bagus Sriman mendengarkan petuah Nyi Ratu Mas Sekar, haripun telah semakin sore. Maka iapun memohon diri untuk pergi mandi di pancuran, sebelum turut belajar menabuh gamelan, yang diadakan setiap sore di bangsal “Dirgayu Budaya”. Setelah senja itu Bagus Sriman berhasil menjalin persahabatan yang erat dengan Gayatri, dan di kemudian hari, setelah meningalkan Padepokan Pamong Bhuwana, nasihat-nasihat Nyi Ratu Mas Sekar senantiasa diingatnya. 

[Back]

 

 

KI SONTOYUDO -- BAGIAN V

 

1. Selang tujuh hari setelah Bagus Sriman tiba di Padepokan Pamong Bhuwana, semakin terasa menyata dirinya dengan kehidupan di perguruan itu. Bekerja di kebun ia lakukan dengan giat; belajar kesusastraan ia turuti pula, bahkan juga berlatih gamelan dan mendengarkan cerita wayang. Akan tetapi dari semua itu menjadi kesukaannyalah untuk mendengar uraian para guru padepokan atau apabila mendapat kesempatan untuk berbincang-bincang dengan mereka secara pribadi.

2. Pada pagi hari kedelapan setelah Bagus Sriman tiba di desa Karangtumaritis, mendapatlah ia kesempatan untuk mendengarkan uraian Ki Santayuda. Diselenggarakan pada sore hari, setelah para cantrik menyelesaikan pekerjaan harian mereka. Berbondong-bondong mereka memasuki pendapa agung, setelah sebelumnya membesihkan diri di sendang di bawah semak-semak bambu. Tampak di pendapa Ki Santayuda telah menunggu, sambil bersenda gurau dengan para cantrik yang lebih dahulu tiba.

Bagus Sriman lalu mengambil tempatnya, dan bersila menyandarkan tubuhnya pada tembok bangunan itu. Setelah semua berkumpul dan duduk tenang, mulailah Ki Santayuda berkata-kata.

“Pada pagi hari ini marilah diadakan uraian dan ulasan mengenai dharma karya, yaitu bagian ketiga dari Trinugraha; yang kita kenal dengan narna ‘dharma’.

Adapun karya diartikan sebagai pekerjaan atau upaya, sedangkan dharma adalah segala bentuk pekerjaan yang menuju pada kebenaran. Maka pada hakekatnya dharma karya adalah sama dengan satyagraha, sebuah kata yang diperkenalkan oleh Sri Mahatma di Jambudwipa.”

4.“Adapun dharma karya itu berhubungan erat dengan karma, atau hukum sebab-akibat.

Karma dan bekerjanya karma diterangkan oleh pepatah ‘sapa nggawe nganggo, sopo nandur ngunduh’ atau ‘siapa yang menabur perbuatan, akan menuai hasilnya kemudian’. Karma adalah bagian daripada alam, yang diletakkan Hyang Maha Kuasa untuk memelihara ciptaan-Nya.

Kepada manusia diberikan hati nurani dan akal budi, untuk menyadari akan hal itu.”

5. “Hubungan antara karma dan dharma, yang diwarnai oleh pangastuti, ialah bagi kita manusia untuk berkarya menggerakkan karma; agar secara berangsur-angsur beruntunan dharma yang diupayakan membawa seluruh alam semesta kepada kebahagiaan yang sejati. Maka ini sesuai dengan cita-cita ksatria, yaitu ‘mahayu-hayuning bawana’ atau mengusahakan kebahagiaan dunia dan umat manusia”. 

6. “Apabila seseorang berbuat kebajikan menolong sesamanya tanpa mengharapkan balas jasa; dan kemudian yang ditolong itu berbuat yang sama kepada sesamanya yang lain, akan terlihatlah roda dharma berputar menarik karma dan memperbesar akibat dari perbuatan bajik yang telah dimulai. Itu lah karya pangastuti yang terkandung dalam kata-kata ‘sepi ing pamrih, rame ing nggawe’. Akan tetapi demikianlah pula sebaliknya, roda dharma dapat terhenti oleh perbuatan buruk, yang datang dari pamrih pribadi manusia.”

7. “Karena itu, para siswa berbuatlah kebajikan terus-menerus; bukan karena ingin mendapatkan surga, bukan karena takut api neraka, akan tetapi karena ingin membahagiakan dunia.”

8. “Adapun kunci daripada kata-kata ‘rame ing gawe, sepi ing pamnih’ adalah tertetak pada nilai pekerjaan sendiri, sedangkan setiap pekerjaan memiliki nilai pula. Suatu pekerjaan ataupun perbuatan baik pada dasarnya bernilai sangat tinggi, karena merupakan pengejawantahan daripada ‘pangastuti’. Oleh sebab itu berkaryalah demi karya semata, dan berkaryalah tanpa henti. Seperti yang dianjurkan dalam pepatah ‘aja leren lamun durung sayah, aja mangan lamun durung luwe’, yang berarti jangan berhenti bekerja bila belum lelah, jangan makan bila belum lapar. Itulah karya yang utama”

9. “Perhatikan bahwa orang semestinya berkarya bukan demi hal ataupun kepuasan pribadi semata. Selain itu karya seseorang tidak perlu dinilai berdasarkan karya orang lain, karena setiap karya memiliki nilainya sendiri-sendiri. Pepatah mengatakan ‘sira bisa niru panggaweane, nanging ora bisa niru rejekine’, yang berarti bahwa engkau dapat meniru pekerjaan orang, tetapi tidak depat meniru hasilnya. Maka janganlah rendah diri atau putus asa apabila melihat pekerjaan orang lain lebih berhasil, melainkan usahakanlah terus untuk bertanding karya.”

10.”Siapapun, di manapun dan pekerjaan apapun yang ia jadikan jalan mengabdi perbuatlah itu. ‘Kang dagang neng lautan, miwah kang among tani, sumawana kang suwita ing narendra’, yaitu yang berniaga, mengabdi raja, bertani, mempunyai satu tujuan walaupun berbeda-beda jenis pekerjaannya.’

‘mawarna-warna nanging siji’ adalah ungkapan yang dapat menjelaskan makna itu."

11. “Sebuah pepatah mengatakan pula ‘aja bungah ing pangalem, lan aja susah ing panacad’, yang diterjemahkan sebagai ‘jangan merasa senang kalau dipuji, jangan merasa sedih bila dicela’. Maknanya adalah supaya orang berkarya itu tidak cepat merasa puas dengan hasilnya, akan tetapi sebaiknya mengusahakan hasil yang lebih baik lagi. Karena pada dasarnya buah-buah dari pada karya itu terletak di dalam menjalankannya, di dalam belajar menjalankan secara lebih baik dan di dalam memetik hasilnya. Demikian pula sebaliknya, jangan sadih hati dan putus asa bila menjumpai kegagalan. Anggaplah celaan terhadap ketidak berhasilan sebagai pendorong untuk bekerja secara lebih baik.”

12. “Demikianlah pula, para siswa, janganlah memilih-milih pekerjaan agar mendapat yang mudah. Tidaklah dapat manusia melarikan diri dari kesukaran yang dibenci dalam hidup ini. Karena kemanapun seseorang menyembunyikan dirinya, disitu akan dijumpainya kesukaran itu. Akan tetapi demikian pula sebaliknya, janganlah menghendaki sesuatu pekerjaan yang melebihi kemampuan. Setiap manusia di bumi memiliki kemampuan dan kegunaan yang berbeda, akan tetapi sama pentingnya.

Karena itu carilah pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan keahlian padukanlah ‘cita, rasa lan karsa’ di dalam menjalankannya; maka itulah yang disebut dengan aji Triwikrama.”

13. “Wahai orang yang bekerja perhatikanlah bunyi pepatah ‘aja dumeh lan aja nganggo aji mumpung’ di dalam menjalankan tugas maupun karyamu. Adapun arti dan pepatah itu adalah demikian. Dumeh adalah sikap mentang-mentang, dan karena itu maksudnya adalab agar orang bekerja itu sebaiknya tidak berbangga hati akan bentuk maupun keberhasilan pekerjaannya. Selanjutnya, pekerjaan janganlah digunakan demi kepentingan diri belaka, mengikuti ajaran aji mumpung. Karena apakah artinya kaya harta, apabila jiwa merasa bersalah.”

14. “Sebaiknyalah apabila bekerja berpegang pada petuah-petuah Ki Hajar, yaitu:

‘Ing ngarsa sung tulada

Ing madya mangun karsa

Tut wuri handayani’

Yang artinya,

‘Di depan memberi contoh

Di tengah-tengah turut giat bekerja

Dari belakang mempengaruhi dan mendorong’

Di dalam, kata-kata itulah kita diajarkan budi pekerti yang harus menjiwai pekerjaan 

sehari-hari.”

15. “Dalam mengabdikan diri di dalam pekerjaan dan tugas serta tanggung jawab, berpeganglah pada pusaka Tridharma, yang berbunyi demikian :

‘Rumangsa melu handarbeni

Rumangsa melu hangrungkebi

Mulat sarira hangrasawani’

Yang artinya,

‘Merasa ikut memiliki

Merasa ikut bertanggung jawab

Harus berani mawas diri dan meneruskan apa yang dilakukan’

Bagi mereka yang memiliki hikmat dari kata-kata ini akan jauhlah dari sikap-sikap ‘adigung adiguna’ atau ‘sombong, angkuh dan bangga’. Karena kembali pada yang telah diuraikan tadi, sesungguhnya bekerja itu adalah untuk kebahagiaan bersama.” 

16 “Demikianlah uraianku pagi ini mengenai dharma karya itu. Akhir kita, para siswa, ‘sapa wae ing ing ngendi wae, sumarah pinda baskara’. Engkaulah matahari itu dan perbuatan baikmulah cabayanya. Bersikaplah seperti itu di manapun engkau berada. 

17. Bagus Sriman mendengarkan dengan penuh perhatian ajaran Ki Santayuda dari permulaan hingga akhirnya. Lalu iapun tenggelam dalam pikirannya, sementara cantrik-cantrik lain sibuk bertanya pada sang guru.

Lewat tengah hari mereka semua beristirahat, Sebelum waktu makan siang. Sebagian cantrik tetap duduk di pendapa saling bertukar pikiran; sedang beberapa cantrik, termasuk Bagus Sriman, turun ke halaman, berjalan-jalan sambil bersenda gurau dan melihat-lihat pemandangan alam.

[Back]

 

 

 

KI TANDAYUDA — BAGIAN VI.

 

1.1. Tertulislah dalam catatan perjalanan Bagus Sriman sekumpulan kata-kata ajaran, yang diberikan oleh Ki Tandayuda kepada murid-muridnya mengenai nilai-nilai keksatriaan. Mula dari uraian itu adalah ketika cantrik Bondan Kejawan bertanya mengenai hakekat seorang ksatria.

2. Demikianlah jawab Ki Tandayuda: “Para siswa, seorang ksatria itu pada dasarnya adalah orang yang berbudi luhur. Karena bersikap selalu ingin melindungi; yaitu melindungi negeri, rakyat, masyarakat, pimpinan, kehormatan maupun nama keluarganya. Tetapi sesungguhnya yang terlebih-lebih ingin ia tegakkan adalah kebenaran dan keadilan. Maka tujuan akhir dari seorang ksatria hanyalah ingin membahagiakan dunia, dan karena itu seorang kastria adalah pahlawan bagi umat manusia.”

3. “Lalu betanyalah cantrik Prayatuna: “Bagaimanakah, Ki guru, contoh seorang ksatria itu?”

4. Ki gurupun menguraikan: “Untuk memberikan gambaran yang jelas marilah kita kembali kepada cerita wayang, yang diwariskan oleh leluhur kita. Prabu Rama adalah seorang ksatria dalam mempertahankan Dewi Sinta dan menyerbu Alengka pura untuk memusnahkan Prabu Dasarata, si angkara murka dunia. Resi Bisma juga seorang ksatria karena berani untuk setia kepada sumpah yang ia ucapkan kepada calon ibu tirinya, yaitu sumpah untuk tidak menikah ataupun mengangkat dirinya menjadi Raja Astinapura. Demikian pula Adipati Karna, Sang Suryaputra; harus dianggap sebagai seorang ksatria, walaupun ia berperang di pihak Kurawa yang salah. Patut dijadikan contoh disini adalah ksatriaannya pada raja Suyudana yang telah memberinya jabatan dan kehormatan, walaupun ini berarti ia harus berperang melawan saudara-saudaranya sendiri.” 

5. “Sikap ksatria yang setia ini adalah sesuai dengan syair aksara jawa. Bunyinya demikian:

‘HA     NA      CA       LA       KA

DA       TA       SA       WA      LA

PA       DA       JA        YA       NYA

MA      GA       BA       THA    NGA’

Maknanya:

‘Ada dua orang abdi yang mendapat titah, bersengketa karena keduanya memegang teguh perintah (yang berbeda dan berasal dari Pangeran Aji Saka) sama kuatnya, dan sama-sama menjadi mayat’. 

Demikianlah para siswa, kesatriaan hendaknya menjadi dasar perilaku ksatria.” 

6.  “Adapun contoh-contoh ksatria yang paling sempurna adalah Pandawa Lima. Yudistira yang tertua adalah orang yang sabar. Berwatak samodra hingga dapat menerima watak dan kemauan orang lain ia halus, bicaranya lemah-lembut dan berhati-hati, tidak pernah menyakiti orang lain dan selalu bersedia membagi harta miliknya. Akan tetapi bila kesabarannya dilampaui, jadilah ia ’dewa mambang’ raksasa besar. 

7. “Bima, putra kedua, gagah perkasa dan berwatak serta berhati teguh. Kemauannya keras dan tidak pernah bersedia menerima pendapat orang lain sebelum yakin akan kebenarannya. Walau nampaknya kasar, Bimalah yang dalam lakon Dewa Ruci berhasil menamukan yang menjadi idam-idaman hati; yaitu bertemu dengan Tuhan, yang ternyata bertakhta dalam hatinya sendiri. Karena itu jangan meremehkan orang yang nampaknya saja kasar.” 

8.“Arjuna, penengah Pandawa, adalah ksatria yang berbudi halus, cinta akan keindahan dan senang hidup prihatin melalui bertapa. Dialah yang biasanya melindungi rakyat jelata, dari gangguan perampok atau penjahat. Sikap Arjuna selalu tenang, dan dalam bekerja tidak tergesa-gesa serta selalu diiringi sikap waspada. Karena itu yang dikerjakannya selalu berhasil. Sangat mendalam memakai rasa Arjuna dalam berbuat segala sesuatu; dalam bermain cinta dengan istrinya, dalam mengabdi saudara-saudaranya dan dalam menjalankan kewajibannya sebagai ksatria.

Selain itu ia pula merupakan tokoh yang pandai bergaul.” 

9 “Nakula dan Sadewa, Si kembar, adalah pasangan yang selalu menunjukkan kesetiaan persaudaraan, keserentakan, keserasian dan keseimbangan dalam berpikir. ltulah para siswa, contoh-contoh ksatria dalam pewayangan.” 

10. Lalu bagaimanakah tokoh-tokoh yang tidak bersikap ksatria, Ki guru? “Demikian cantrik Tawawi bertanya. 

11. Jawab Ki Tandayuda: “Memang ada pula, seperti tokoh-tokoh raja sabrangan dan orang Kurawa. Walaupun sakti dan berkuasa mereka tidak dapat mengekang nafsu. Ingin menang tanpa pernah mengalah. Maka kekuasaan di tangan mereka menjadi alat penindas dan perusak. Sikap mereka tidak perwira, perasaan hati selalu diturut, malah tidal takut menangis walaupun laki-laki. Mereka itu angkuh serta gila hormat, derajat dan harta. Seseorang yang ingin menjadi seorang ksatria haruslah membuang sikap-sikap seperti itu.”  

12. “Kalau demikian, ksatria bukan hanya sekedar pahlawan berkeris saja tetapi juga seseorang yang berkepribadian rohani tinggi” Cantrik Sahiri berkata menanggapi. 

13. “Betul katamu, Sahiri, keris ditangan ksatria gadungan menjadi gada ditangan rahwana, yang berarti malapetaka bagi orang banyak.

La yang tidak berpembawaan lemah lembut bagaimana dapat menghargai wanita, anak-anak atau mereka yang lemah. La yang tindak tanduknya tidak sabar dan tenang, mudah kalut jiwa dan pembawaannya.

Apabila mudah terbakar perasaannya, mudah ia menyinggung perasaan orang dan mudah membuat permusuhan. Terlalu cinta diri sendiri membuat orang tidak rela berkurban atau membela yang tertindas. Bukan pula ksatria mereka yang melalaikan tapa dan semedi, karena sulit mereka menilai diri, membangkitkan kekuasan jiwa dan melatih kebijaksanaan.”

14. Bertanyalah Bagus Sriman kepada gurunya, untuk meminta penjelasan mengenai sikap ksatria pada masa kini.

15. Ki Tandayudapun lalu menguraikannya: “Ksatria sejati adalah orang yang berpembawaan sebagai perwira, akan tetapi memiliki ketinggian jiwa bagai seorang pandita. Sebagai pelindung rakyat, keadilan yang merata ditekankannya. Ia mengajukan dan mengikuti pembaharuan, tanpa mengabaikan kemanusiaan ataupun kepribadian budayanya. Hidup rakyatnya adalah hidupnya. Ditenggelamkannya diri ke dalam rakyat, tanpa hanyut ke dalamnya (ngeli tanpa keli).”

16. “Walaupun demikian ia tidak takut melawan arus, karena ia sanggup memelihara kedamaian jiwanya. Celaan dan permusuhan diterimanya dengan tetap berterima kasih kepada Tuhan. Untuknya kebahagiaan tidak terletak atas hormat, semat/harta, derajad/jabatan dan kramat/kuasa.”

17. “Sebagai seorang ksatria sikapnya demikian: 

‘Sepi ing pamrih, rame ing gawe

Banyak bekerja, tanpa pamrih

Sugih tanpa banda

Kaya tanpa harta

Ngluruk tanpa wadya

Perang tanpa tentara

Menang tanpa ngasorake

Menang tanpa menghina

Digjaya tanpa aji

Merasa kuat tanpa kesaktian/dukungan’ 

Hidupnya bergairah dalam mengabdi, tanpa menonjolkan jasa-jasanya”

 

18. ‘Wahai para siswa, tujuan utama seorang ksatria sama mulianya dengan tujuan seorang pandita. Banyak yang mencoba menjadi ksatria utama tetapi menemui kegagalan. Terpujilah mereka yang tidak putus asa dan tetap berani menempuh jalan utama itu. Ingatlah bahwa Arjunapun berkali-kali gagal seperti dalam lakon Palguna palgunadi. Beratnya jalan hidup ksatriaan itu karena tantangan yang pertama-tama harus ditundukkannya ialah diri pribadinya sendiri. 

19. Terbayang dalam pikiran Bagus Sriman, wajah orang ksatria yang telah berhasil memenangkan dirinya sendiri : Tenang, sabar dan berbudi luhur. Lalu tergambar pula dalam angan-angannya susah-payah dan pengorbanan yang harus diberikan sang prajurit, untuk memiliki jiwa keksatriaan tersebut. 

2.1. Kemudian terdengar kembali suara Ki Tandayuda melanjutkan uraiannya: “Wahai para siswa, cernakanlah dalam pikiran dan hati, apa yang disebut sebagai ksatria pinandita serta ciri-cirinya.

2. ‘Ksatria Pinandita itu adalah sikap ksatria dan sikap kepanditaan, seperti yang terdapat dalam pribadi seseorang ia melangkah dalam keutamaan. Orang yang demikian itu berpijak teguh diatas dasar ‘pragnya para marta jaya’; yang artinya adalah ‘dengan kepandaian ilmu pengetahuan dan budi luhur menuju kepada kemenangan. Adapun kemenangan yang dimaksud adalah kemenangan atas diri sendiri dan atas penderitaan manusia.”

3. “Sang Ksatria pinandita berjiwa ‘prajurit’, yaitu:

Pra, perwira, ju, jujur, rit, hemat. Lalu berpegang teguh pada sikap ’Bhirawa Anuraga’, yang artinya semakin kuat samakin pula merendahkan diri. Tepatnya seperti yang dijelaskan oleb ilmu padi, yaitu semakin padi berisi semakin runduk batangnya.

Dijatuhinya ilmu kantong bolong, omong kosong dan sikap pepatah ‘tong kosong nyaring bunyinya’. Oleh sebab itu seorang ksatria ‘Prasaja nanging sumarah pinda baskara’, atau sederhana akan tetapi bercahaya seperti matahari”.

4. “Perilakunya adalah perilaku ‘Sabda Pandita Ratu’, yaitu sesuatu yang telah diucapkannya akan dijalankan dengan tetap. Nampaknya terkadang susah ia mengambil keputusan; selalu dikatakannya ‘alon-alon waton kelakon’ atau ‘pelan pelan asal dijalankan’. Sebenarnya hal ini adalah karena ia sedang memadu ‘cipta, rasa lan karsa’ atau ‘pikiran, perasaan dan kehendak’. Apabila telah terpadu ketiganya itu, keputusanpun akan diambil dan dijalankan ‘rawe-rawe rantas malang-malang putung’; yaitu dengan berbudi ‘bawalaksana’ yang artinya adalah menjalankan sesuatu keputusan dengan tetap dan mantap”

5. “Sikap pengabdian seseorang ksatria itu bagaikan seorang punakawan, yang ‘momot, momong, mangkat’. Artinya, berwatak luas seperti samodra; mengisi, menghargai dan mengasuh; menghormati dan menjujung tinggi. Ia mengikuti ajaran warisan yang berbunyi:

‘Durung menang yen durung wani kalah,

Belum menang bila belum berani kalah

Durung unggul yen durung wani asor

Belum berani di atas bila belum berani di bawah

Durung gede yen durung ngaku cilik

Belum agung bila belum merendahkan diri’. 

Selain itu di dalam menolong ia berpegang pada kata-kata:

‘Nulung pepadane ora nganggo mikir wayah, waduk, kantong yen ono isi lumantar sesami’

Jadi ia menolong karena yang ditolong adalah sesamanya. Tidak lebih dan tidak kurang”. 

6. “Budi luhur seorang ksatria itu terdiri dari empat pembawaan diri yang terpuji.

Pertama adalah ‘wicaksana’ atau sifat bijaksana, yang didapatnya dari pengenalan diri sendiri dan sesamanya. Kedua adalah ‘susila’ atau sikap sopan-santun, tepa-selira dan tenggang rasa. Seperti yang dijelaskan dalam kata-kata jawa: ‘Manjing ajur ajer, cedak tan kena keungkulan, dhuwur tan ngungkul-ungkuli. Artinya, walaupun rendah tidak dikalahkan atau menjajah. Ketiga adalah ‘Anuraga’, yaitu sikap rendah hati, jauh dari keangkuhan dan kebanggaan diri. Lalu yang keempat adalah ‘Sudira’, yaitu keberanian serta watak teguh, yang dapat melahirkan ketegasan. Demikilah, ungguh-ungguhing basa para ksatria”.

7. “Seorang ksatria yang memiliki budi luhur itu pribadinya dapat dijelaskan dengan kata-kata:

‘Santosa ning budi teguh, serta tawakal lega wing ati, trima lila hambeg sadu’

Artinya, memiliki kesentosaan budi yang teguh, serta tawakal sabar tulus tanpa pamrih, berkasih sayang dan selalu ingat serta ingin mengetahui (intisari maupun) akhir hidup”.

8. “Di dalam bidup bernegara seorang ksatria pinandita itu adalah ratu adil yang dirindukan rakyat. Karena yang ia perjuangkan adalah masyarakat ‘panjang-punjung, tata kerta raharja …. gemah ripah loh jinawi .... loh subur kang tinandur’ di mana ‘wong cilik bakal gumuyu’. Maka sebagai mantriwira seorang ksatria bersikap ‘tan satresna’ dan ‘masih i samastabhuwana’, atau besikap tidak mencari kesenangan diri sendiri saja serta selalu mengasihi seisi dunia. Ia berpegang teguh pada tiga pedoman, yaitu: ‘sepi ing pamrih; rame ing gawe, suwung ing pamrih, tebih ing ajrih; memayu hayuning bawana’.

Makanya adalah : Tanpa pamrih, banyak bekerja; kosong dalam pamrih tida takut; senantiasa mengupayakan kebahagiaan dunia”. 

9. Ki Tandayuda berhenti berbicara, suasana terasa hening, yang terdengar hanyalah nyanyian alam di sekitar. Kemudian Ki guru agung berkata melanjutkan: “Anak-anakku, para siswa yang menjunjung keutamaan; uraianku pada hari ini akan ku akhiri dengan membacakan syair manusia utama”. Kemudian diambilnya secarik kertas dari saku bajunya, dan iapun mulai membaca. 

10. “Amat sukar didapat orang yang luhur budinya tempat pencari ilmu bertanya, tempat masyarakat bersandar.

Karena hampir tak mungkin seseorang mencapai keutamaan.

Berhasil menundukan nafsu, serta membangkitkan cinta kasih”. 

11. “Sungguh berat jalan kebahagiaan dan keutamaan penuh tantangan disetiap langkah, yang menggoda seluruh upaya.

Namun berbahagialah mereka yang meninggikan panji keluhuran manusia utama, dan menurutinya”. 

12. “Inilah sikap-sikap keutamaan itu:

Sebagai pendeta sikapnya bijaksana dan waskita

Saleh dan taat pada agama, selalu ingin mendalam

sastra budaya

Sebagai ksatria sikapnya perwira dan bertata krama

gagah berani menjaga keselamatan umat seluruhnya

Sebagai pedagang sikapnya luhur dalam kerja keras

mencari untung untuk dinikmati banyak orang

Sebagai petani sikapnya jujur, rendah hati dan belas kasihan

terpuji dan giat membahagiakan seluruh dunia”. 

13. “Sebagai pendeta belaka,

dapat orang melalaikan dunia sesamanya

Sebagai ksatria semata,

dapat melupakan sebab akibat penderitaan sesama

Sebagai pedagang saja,

dapat mencari untung dengan curang pada sesama

Sebagai petani saja,

dapat ditindas dan ditipu sesama.

Sebagai raja belaka,

karena kedudukan dapat lupa isi hati sesama”. 

14. “Maka satukanlah kelima sikap utama agar berguna hidupmu bagi kebahagiaan dunia”. 

15. Berakhirlah sudah pelajaran pada hari itu, dan guru serta para muridnya berdiri untuk meninggalkan ruangan. Suara cakap dan adu pendapat terdengar di sana-sini, ditingkahi tawa senda gurau beberapa siswa.

Bagus Sriman bejalan menghampini cantrik Bondan Kejawan, untuk mengajaknya memancing di kali. Tetapi dihentikannya langkahnya, ketika dilihatnya Gayatri sedang berjalan melintasi halaman membawa setumpuk pakaian, yang rupanya akan dicuci. Wajahnya yang ayu dan tubuhnya yang ramping membuat Bagus Sriman lupa akan keinginannya untuk makan ikan mas pada siang itu. Rasanya ia lebih ingin mendengarkan celoteh riang Gayatri.

Perlahan dan hati-hati ia menuruni undakan pendapa, lalu setengah berlari dikejarnya gadis itu. 

[Back]

 

 

PANEMBAHAN ANYAKRAWATI — BAGIAN VII

 

1.1. Seminggu sebelum perayaan tahun baru satu sura, para warga padepokan dan penduduk desa Karang Tumaritis telah mulai bersiap-siap. Gapura-gapura bambu ditegakkan, yang nantinya akan digantungi hiasan-hiasan janur. Bangunan-bangunan padepokan dibersthkan, demikian pula perangkat gamelan Kyai Kawatmeja yang nanti akan dimainkan. Suasana riang teduh, akan tetapi tidak ada yang membeli pakaian baru ataupun barang barang mewah lainnya, karena perayaan satu sura adalah perayaan pembaharuan batin.

2. Undangan-undanganpun dikirimkan kepada para pemimpin agama: ulama-ulama dari pesantren, pendeta dan Rama Kristen, biksu dan pedanda serta beberapa penuntun aliran kepercayaan; semuanya yang tidak jauh tinggalnya dari desa Karang Tumaritis. Diundang pula pejabat bupati, camat dan beberapa lurah dari desa tetangga. Agar mereka semua hadir pada malam satu sura.

3. Dalam rangka perayaan tahun baru itu, Panembahan Anyakrawati berkenan pula untuk rnemberikan beberapa ceramah. Adapun ceramah malam pertama ialah mengenai perlambang wayang gunungan. Lalu pada malam kedua mengenal perlambang wayang semar, disusul oleh uraian pepatah batin pada malam ketiganya. Sedangkan uraian yang ke empat, dengan judul ‘Empat tiang saka guru kebatinan’, akan diucapkan pada malam satu Suranya; yaitu setelah mendengarkan uraian kerohanian para pemimpin agama yang akan diundang datang.

Kebetulan dalam rangka perayaan satu suro tahun ini tidak akan diadakan pertunjukan kulit; berhubung Ki dalang Prawira Suta sedang turun gunung.

 

2.1. Pada waktu diselenggarakannya uraian malam pertama di sasana Agung Gitabhuwana, seluruh warga padepokan berkumpul menghadapi Panembahan Anyakrawati. Tampak di situ para cantrik, bapak-bapak dan ibu-ibu, serta pemuda-pemudi remaja. Beberapa yang hadir tampak menunggu acara dengan wajah yang hikmat dan tekun. Akan tetapi ada pula yang berbisik bersenda gurau, dan disana sini terlihat pula pemuda-pemudi berlirik-lirikan dengan hati yang terlanda asmara.

2. Di sebelah kanan Sang Panembahan tegak terpancang sebuah wayang gunungan, terbuat dari kulit dan berukuran besar.

Setelah keadaan menjadi lebih tenang berbicaralah guru agung itu. Ujarnya: “Perhatikan  wayang gunungan itu, karena di dalamnya terdapat perlambang yang menyingkapkan pandangan mengenai hidup dan kehidupan.”

3. “Hidup manusia diibaratkan sebagai gunung, yaitu perjalanan dari gunung kepuncaknya. Adapun perjalanan itu adalah perjalanan dari kanak-kanak menuju kekedewasaan, dari penderitaan menuju kebahagiaan, daya upaya menuju keberhasilan; dari keresahan menuju kepada ketenangan batin”. 

4. “Di kaki gunung, di kanan kiri pintu gerbang berdiri Batara Guru Ki Lurah Semar; yaitu dua bagian dari Manikmaya yang tunggal.

Batara Guru disebelah kiri menjadi lambang kekuatan yang berada di luar bumi, di alam semesta ini; yaitu matahari-matahari dan bintang-bintang, atau tata surya tata surya yang ada dilangit sana. Ki Lurah Semar di sebelah kanan menggambarkan kekuatan yang berasal dari bumi tempat hidup manusia. Di atas pintu gerbang di kanan kiri batang pohon, tampak naga dan burung garuda.

Naga di sebelah kanan mempunyai arti gambaran yang sama dengan Ki Lurah Semar, sedangkan garuda disebelah kiri melambangkan apa yang di lambangkan Batara Guru.

Maka kedua kekuatan itu adalah dwi tunggal; yang saling bertentangan dan bekerja sama di dalam keseimbangan yang memelihara hidup manusia”.

5. “Pohon dengan akar dan carang-carangnya melambangkan seluruh alam semesta yang menghidupkan seluruh manusia dan makhluk ciptaan lainnya. Pohon kehidupan ini menggambarkan pula dunia benda, yang terdiri dari unsur-unsur hawa, angin, air, api dan. tanah. Maka manusia juga terdiri dari unsur-unsur ini”. 

6. “Seperti pohon kehidupan itu tumbuh terus menerus mengeluarkan carang dan daun segar pengganti yang telah gugur; demikian pula turunan manusia, diganti oleh turunan berikutnya.

Begitulah kehidupan manusia dengan kebudayaan dan peradabannya yang senantiasa tumbuh naik, gugur turun; akan tetapi selalu berkembang ‘patah tumbuh hilang berganti’. Ini pulalah yang dilambangkan sebagai berjalannya cakra, yaitu gambaran ‘anyakra manggilingan atau roda dunia yang terus berputar menandakan keadaan dunia yang selalu berubah. Karena itulah manusia waspada mawas diri dan sentosa hati. Sebab di dalam hidup ini ada masa senang, ada masa susah; masa tertawa riang, masa berurai air mata; masa kejayaan dan masa kejatuhan.

Akan tetapi di balik semua peristiwa di dunia ini terdapat kekuasaan yang tak terhindarkan maupun terlawankan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa”. 

7. “Ketahuilah bahwa di dalam parjalanan sejarah dunia terdapat dua pertentangan yang abadi, yaitu petentangan hidup dan pertentangan budaya. Pertentangan hidup adalah pertarungan antara kebaikan dan kebathilan; sedangkan di dalam pertentangan peradaban nilai-nilai baru selalu menantang nilai-nilai lama, yang pada akhirnya akan melahirkan sekumpulan nilai-nilai yang lebih dapat diterima oleh masyarakat.

Demikianlah kedua pertentangan akan terjadi terus-menerus mewarnai jalannya sejarah sampai pada masa ‘tancep kayon’ atau yang di dalam pewayangan dikenal sebagai waktu dipancangkannya gunungan sebagai pertanda berakhirnya sebuah lakon”. 

8. “Begitulah pandangan tentang dunia manusia dan kehidupannya, yang tersirat dalam wayang gunungan. Biarlah mereka yang telah mendengarkan berusaha mengertinya”.

9. Serampungnya uraian pendek itu, beberapa cantrik menggunakan kesempatan untuk bertanya lebih lanjut; sedangkan sebagian besar yang hadir beranjak meningalkan ruangan. Bagus Sriman, Sahiri dan Prayatruna lalu duduk di pendapa bercakap-cakap kesana-kemari, ‘ngalor ngidul’, tanpa ujung maupun pangkal.

 

3.1. Pada malam ceramah yang kedua, lebih banyak jumlah orang yang hadir, karena Ki Lurah Semar tokoh pewayangan yang mempunyai bayak penggemar. Panembahan Anyakrawati duduk bersila dengan memangku sebuah wayang Semar, yang rupanya akan digunakan untuk membantu menerangkan. Semua yang hadir di ruangan dalam Sasana Agung Gitabhuwana, duduk dengan tertib dan seksama mendengarkan kata-kata sang guru agung.

2. “Kitab-kitab tantu Panggelaran dan menceritakan tentang asal-usul Ki Lurah Semar” Suara Panembahan Anyakrawati menggema memenuhi ruangan. ‘Pada mulanya adalah sebuah telur yang menggantung di angkasa luas, yang kemudian diremas oleh Sang Hyang Wenang menjadi tiga bagian; yaitu ‘Bumi dan Langit’, ’Teja cahaya’ dan ‘Manik maya’. 

Lalu Manik maya terbagi menjadi dua bagian; Manik dan Maya.

Maka Manik adalah Batara Guru, dewa yang berkedudukan di kayangan; dan Maya adalah Ki Lurah Semar, dewa yang menitis kedunia.” 

3. “Akan tetapi ada uraian yang berbeda. Menurut cerita pedalangan pada mulanya bumi dan langit telah ada, sedangkan telur yang berada di angkasa disabda oleh Sang Hyang Wenang hingga pecah menjadi tiga bagian. Kulit telurnya menjadi Teja mantri, putih telur menjadi Ismaya dan kuning telurnya menjadi Manik maya”. 

4. ‘Pada suatu ketika terjadilah pertentangan antara Ismaya dan Manik maya, mengenai siapa yang akan berkuasa di kayangan. Atas usul Manik maya diadakanlah pertandingan atau kesaktian, dengan jalan menelan gunung. Teja mantri mencoba akan tetapi tidak berhasil, bahkan mulutnya sobek. Ismaya berhasil menelan gunung itu, tetapi tidak berhasil memuntahkannya kembali. Lalu datanglah Sang Hyang Wenang dan memberi keputusannya. Manik maya menjadi Batara Guru yang berkuasa di Kayangan Jonggring Salaka dan menurunkan umat manusia. Tejamantri dsn Ismaya dititahkan turun ke bumi untuk mengasuh manusia. Tejamantri menitis menjadi Togog dan mengabdi kepada raja-raja angkara, yang mendengarkan pun tidak mengikuti kepada nasihat-nasihatnya. Ismaya menitis sebagai Semar yang mengabdi dan mengasuh raja-raja ksatria, terutama Pandawa Lima”. 

5. Maka inilah perlambang dari pada Togog, Semar dan Batara Guru. Togog yang berasal dari kulit telur melambangkan hidup yang mementingkan wadah, tetapi kosong isinya. Semar yang berasal dari putih telur mengambarkan hidup suci yang berisi, sehingga dalam pewayangan ia selalu menjadi pamong yang jujur, sederhana serta selalu berpihak pada kebenaran. Batara Guru, yang berasal dan kuning telur, adalah lambang kekuasaan dan pemerintahan”.

6. “Dalam karyanya di dunia Semar menjadi cahaya penuntun bagi ksatria, terutama di saat mereka bimbang atau mengalami kesukaran. Ia memberi semangat waktu ksatria sedang susah, menyelamatkan di kala ksatria diancam bahaya dan mengbiburnya di kala sedih. Di waktu ksatria kesepian Semarlah yang menemani dan kala digoda nafsu Semar pula yang menahannya. Sesungguhnya celakalah ksatria yang tidak memiliki Semar itu”.

7. Kemudian Panembahan Anyakrawati meragakan wayang semarnya kepada semua yang hadir. Kelap-kelip lampu teplok menciptakan bayangan wayang itu di tembok, rnembuat Bagus Sriman merasa seolah-olah wayang itu bukan lagi benda mati tetapi Ki Lurah Semar sendiri yang hadir bersama mereka. Panembahan guru lalu berkata

“Lihatlah Wayang Semar ini, dan camkanlah maknanya”.

8. “Ki Lurah Semar buruk rupanya, akan tetapi dalam pewayangan ia adalah dewa yang tertinggi. Bentuknya yang bulat melambangkan dunia; sedangkan perut dan ‘belakang’nya adalah Barat dan Timur. Semar menyandang golok pusaka yang berarti warisan luhur dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Lukisan wajah yang sumeh menunjukkan rasa senang hati manusia menerima kodrat Tuhan. Tangannya yang menunjuk adalah nasehat dan teguran. Kuncungnya naik ke atas, melambangkan pengetahuan bahwa hanya satu yang dapat mengatasi kemelut dunia; yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Kedua kakinya berdiri tegak, menggambarkan bahwa manusia bergantung kepada bumi, sumber kehidupan”. 

9.“Adapun buah pikiran di balik wayang Semar adalah seperti yang dinyatakan dalam tembang pucung :

‘Semar iku apa estri apa jalu

yen ta jalu samara

jaja mungal lir pawestri

yen estria

lurah semar nduwe kuncung’

Atau seperti yang diuraikan dalam kata-kata: ‘Ora lanang ora wadon, ora nangis ora ngguyu, dudu dewa dudu manungsa, ora papan ora dunung, ora cedak ora adoh nanging pasti ana’; yaitu yang hakekatnya antara ada dan tiada, akan tetapi ada. Semar melebur dan menyelaraskan semua hal yang bertentangan, seperti dijelaskan dalam ungkapan ‘wus tan kasamaran marang samobah musiking jagad’.

Maka di dalam pribadi yang samar-samar inilah tokoh semar munncul dalam pewayangan”.

10. “Sikap-sikap Semar adalah momot, momong, memangkat merangkum, menuntun, mengayomi, menerima, menyumbang, mencintai dan berbuat untuk semua tanpa mengharapkan balas jasa dan tanpa menuntut apapun.

Ini semua adalah gambaran dari pada Tuhan yang cinta pada ciptaannya; yaitu yang selalu melindungi dunia dengan jalan mengabdi dunia. Penyelenggara yang sabar dan mahabijaksana: ‘di indit kaya wade, di juju kaya manuk’. Demikianlah Semar itu”. 

11. “Adapun Semar sebagai Panakawan itu adalah kepribadian yang patut dicontoh manusia. Rajin dalam bekerja tanpa mendahulukan kepentingan pribadinya; itulah pekerti yang tulus. Semar dan para panakawan lainnya miskin harta. akan tetapi berjiwa mulia. Budinya luhur, tidak dikuasai dan tidak menguasai; kecuali menguasai dirinya. Maka panakawan yang sejati selalu berani oleh karena benar. Sikapnya ‘suwung ing pamrih tebih ing ajrih’ atau ‘kosong dari pamrih pribadi, hingga jauh dari rasa takut’. Barang siapa yang ingin menjadi ksatria utama contohlah perilaku Panakawan itu”.

12. Sampai disitu berakhirlah uraian Panembahan Anyakrawati. Beberapa waktu kemudian, ketika sebagian besar hadirin telah meninggalkan ruangan, Bagus Sriman melangkah keluar menuju halaman. Dicari-carinya Gayatri, tetapi gadis itu tidak nampak disekitar sasana Agung.

Beberapa kawannya mengganggu bersanda gurau, membuat Bagus Sriman merasa agak sungkan. Akhirnya duduklah ia bersama kawan-kawannya itu.

13. Ketika waktu istirahat telah hampir tiba, Bagus Sriman mengambil secarik kertas, dan menulis sebuah tentang Sang Semar.

14. “Wajah yang tersenyum

pada perjalanan hidup

Tawanya riang jenaka

Gambaran cerita dunia

Lambang cinta kasih

Gusti pemelihara manusia

Bibirnya bimbingan nasihat

            Suara para luluhur

Semar Pamong Bhuwana

mengajar ia dalam melayani

Semar yang asalnya di angan-angan

hidup di hati para pencipta

Tak hentinya ia tersenyum

dalam bayang pikiran manusia”.

 

4.1 Pada malam ketiga, semar duduk menghadap Panembahan Anyakrawati. Setelah semua mendapat suguhan panganan dan minuman, Sang Panembahanpun mulai mengajar.

2. Demikianlah, kata-kata guru agung yang dicatat Bagus Sriman di buku hariannya: “Padepokan Pamong Bhuwana dahulu didirikan, dengan maksud untuk meneruskan ajaran batin para leluhur di Jawadwipa. Selain dari pada itu bermaksud para pendiri untuk merenungkan trinugraha, atau tiga anugerah Hyang Gusti; yaitu : Pangastuti, Karma dan Dharma”.

3. “Pepatah mengatakan ‘Suradira jayadiningrat lebur dening pangastuti’, yang berarti ‘kejayaan dan kejahatan’. Kejahatan hancur oleh kebaikkan’; Di dalam bahasa kawi bunyinya adalah ‘suradira jayadiningrat swah brastha tekap ing ulah dharmastuti’. Disinilah letak pengakuan bahwa di dalam semesta ini terjadi pertentangan antara kebaikan dan kejahatan, di mana kejahatan tidak akan sampai hancur luluh sampai pada saat Hyang Gusti menginginkannya kelak”.

4. “Maka kejahatan itulah akar dari pada penderitaan manusia, dan kejahatan itu datangnya dari dalam hati, yang tergoda oleh pengaruh-pangaruh dunia lahiriah. Karena itu apabila ingin melenyapkan penderitaan carilah kebaikan sejati. Sebuah nasehat pergaulan mengatakan: Tidak mencari teman untuk mencari membantu; yang dicari kebaikan sejati, itulah paling utama. Teman dapat berpisah dan pembantu mungkin mecari untung. Kebaikan sejati itu serba baik”.

5. “Manüsia wajib memelihara kebaikan hatinya, secara tulus dan jujur, karena kebaikan hati yang di buat-buat akan segera terlihat. Ini sesuai dengan bunyi dua buah pepatah: ‘Becik ketitik, ala ketara’ dan ‘wong temen tinemu, wong salah saleh’. Makna dari pada hal itu adalah seperti yang diungkapkan dalam kata-kata ‘ngunduh wohing pakarti’; yang berarti bahwa kebaikan maupun keburukan hati seorang akan nampak dari perbuatannya”.

6. “Di dalam hidup usahakanlah senantiasa untuk mengalahkan kejahatan dengan kebaikan hati. Seperti dikatakan dalam nasehat ‘sapa becik den beciki, sapa ala den beciki’; artinya perbuatan baik pada yang baik, perbuatan baik pada yang jahat. Barang siapa yang melakukan hal ini, akan tampak pada dunia kemuliaan jiwanya”.

7. “Ajaran mengenai karma diterangkan oleh pepatah ‘Ngunduh wohing panggawe; utang pati bayar pati, utang nyawa bayar nyawa’. Artinya, orang yang berbuat akan menerima ganjarannya yang setimpal karena ada masa menabur ada masa menuai. Maka bagi perbuatan baik, baik pula ganjarannya; sedangkan bagi perbuatan buruk, keburukanlah ganjarannya”.

8. “Mpu Tantular menulis dalam Kitab Sutasoma ‘Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa’, yang artinya ‘beraneka ragam tetapi satu jua, tak ada kebenaran yang mendua’. Maka kebenaran itu bukanlah buah pikiran yang ada di angan-angan saja, akan tetapi haruslah dinyatakan dalam perbuatan; yaitu perbuatan di jalan kebenaran. Apabila ingin menguraikan kebenaran itu, tanyalah pada hati nurani, di situlah letak jawabannya”.

9. Adapun kebenaran yang tekandung dalam perbuatan itu adalah kebahagiaan manusia, baik pribadi maupun sesamanya. Seperti dikatakan oleb Raden Mas Sasrakartana mengenai hidup yang baik:

‘Angluruk tanpa bala, tanpa gaman

 ‘ambedah tanpa perang, tanpa pedang

 Menang tanpa mejahi, tanpa nyakiti

 Wenang tan ngrusak ayu, tan ngrusak adil

 Sinunggul sujud bekti marang sesami’

Maka intisari dari pada ungkapan itu adalah anjuran untuk hidup mengasihi, sesama; dimanapun, kapanpun dan dengan cara apapun. Bawalah suka cita pada mereka yang berduka cita, dan damai sejahtera pada mereka yang resah”.

10. “Putarlah roda dharma berdasarkan Pangastuti, untuk menggerakkan karma agar kebaikan menang di seluruh permukaan bumi. Maka untuk mendapatkan ‘sejatining pangastuti’ orang perlu mengerti dan menguasai pribadinya; tahu kebahagiaan, mengenal penderitaan. Seperti kata pepatah ‘kudu bisa mati sajroning urip, lan urip sajroning mati; bungah sajroning susah, lan prihatin sajroning_bungah’. Artinya, ‘harus dapat mati sewaktu hidup, dan hidup sewaktu.mati; senang dikala susah dan susah dikala senang’. Untuk menjalankan semua ini orang memerlukan hikmat”.

11. “Maka langkah pertama dan permulaan dari pada hikmat adalah penyerahan diri kepada Hyang Gusti. Pepatah mengatakan. ‘Wong urip iku kudu pasrah lan sumarah sarta narima ‘Orang hidup itu harus berserah, sejahtera dan menerima; kalau tidak, senang maupun susah akan selalu berada dalam kebingungan. Demikianlah ilmu hidup itu; dimulainya ialah dari rasa sentosa di hati”.

12. “Amalkan ilmu hidup itu tanpa menunda-nunda waktu. Akan tetapi dengarlah nasehat in!:

‘Kalamun durung lagu, aja pisan ngaku-aku, antuk siku kang mangkono iku kaki’

Yang maknanya adalah:

‘Jika belum ‘runtut’ dan mengalami benar-benar

jangan sekali-sekali berani mengaku-aku,

karena akhirnya bukanlah kebahagiaan yang mereka peroleh, tetapi sebaliknya malapetaka. 

Ketahuilah bahwasanya ilmu adalah untuk diamalkan, bukan sekedar di kumandangkan belaka”. 

13. Demikianlah akhir dari pada ceramah Panembahan Anyakrawati yang ketiga. Semuanya yang berkumpul diruangan itu lalu membubarkan diri, kecuali Panembahan sendiri dan beberapa cantrik yang lebih tua.

Bagus Sriman melihat Gayatri beranjak dari duduknya. Didekati serta diajaknya kawannya yang manis itu untuk menonton gadis-gadis kecil bermain congklak dan anak-anak lelaki bermain gobak sodor di halaman.

 

5.1 Pada senja hari menjelang satu suro, terlihat kesibukan di sekitar padepokan. Perangkat gamelan telah dipindahkan ke Sasana Agung Gitabhuwana, dari tempatnya di Sasana Dirgayu budaya, dan kini beberapa cantrik memperdengarkan irama klenengan yang merdu. Hiasan-hiasan janur yang indah nampak berkibaran tertiup angin.

Di dapur umum terlihat ibu-ibu dan gadis-gadis menyiapkan suguhan bagi para tamu yang akan tiba, walaupun sebagian besar warga padepokan masih menjalani puasa. Panembahan Anyakrawati, Kyai Pacingtawa, Ki Santayuda, Ki Tandayuda dan beberapa pengajar lainnya duduk di pendapa menantikan para undangan tiba. Nampak pula di situ Nyi Ratu Mas Sekar, cantrik Hemban Sawung dan Kwee Cin Thian; kepala Majelis Matakin di daerah, yang merupakan kawan baik Panembahan Anyakrawati. Gayatri dan beberapa kawannya tampak di halaman, menunggu tibanya para tamu untuk diantarkan ke atas pandapa. Nampak manis mereka dengan kebaya dan sanggul yang diatur rapi. 

2. Bagus Sriman dan cantrik-cantrik lainnya sibuk mempersiapkan jalannya acara. Mereka membakar obor di halaman, menyalakan lampu-lampu minyak, membawa makanan berbaki-baki kependapa serta mempersiapkan tungku kemenyan untuk rnengharumkan udara. Lalu para tamupun berdatangan; semua disambut dengan hormat dan dipersilahkan masuk. Pangananpun disajikan, sementara para guru agung beramah-tamah dengan para undangan. 

3. Setelah yang diundang tiba, berkumpullah mereka dihalaman dan mengambil tempat masing-masing di Sasana Agung, karena acara akan dimulai. Suara gamelan pun berhenti dan Panembahan Anyakrawati lalu mengucapkan selamat datang kepada semua yang hadir atas nama Dewan Agung Para Pamong dan seluruh warga padepokan maupun desa Karang Tumaritis; serta menjelaskan tujuan perayaan satu sura.

Kemudian bergantian bupati, camat dan beberapa lurah menyampaikan kata sambutan.

4. Lalu tibalah giliran ulama yang hadir untuk memberanikan uraian kerohania, mereka. Kyai Haji Mahbub dari pesantren Madusukma berbicara mengenai sariat dan hakekat.

Disusul oleh pendeta Mas Driya Mestaka dari Gereja Kristen Jawi Wetan yang menjelaskan arti penitisan Tuhan kemudian ke dunia sebagai Kristus Yesus. Kemudian Rama Aloysius Suparta memberikan renungan mengenai karya penebusan Kristus dan umat-Nya.

Biksu Sariputra Adiyanta mengajarkan tentang penderitaan hidup atau duka dan delapan kebenaran Sang Buddha; disusul oleh Gde Puja dari perwakilan Parisadha Hindu Dharma setempat yang menceritakan makna perayaan Galunggung, yang dikatakannya mirip dengan perayaan satu sura.

Dua pembicara terakhir adalah bapak Sriyatna dari aliran Sapta Dharma dan bapak Buntaran dari aliran Pangestu; masing-masing berbicara mengenai tujuan hidup manusia. Sementara itu waktu terus berjalan, dan tengah malam hampir tiba. Wangi dupa terasa semakin menajam dan angin bertiup semakin dingin.

5. Sebelum tengah malam tiba, Panembahan Anyakrawati mulai berbicara. Dikatakannya bahwa satu sura dirayakan oleh para warga padepokan untuk memperbarui tekad batin, yaitu seperti yang terkandung dalam prasetya ‘Sujud marang Gusti, Sujud marang sesami’ dan ungkapan ‘sepi ing pamrih; rame ing gawe’. Lalu iapun memulai uraiannya mengenai empat tiang sakaguru kebatinan.

6. Demikianlah kata-katanya:

“Pokok yang pertama dalam pengetahuan itu adalah tujuan kebatinan. Maka tujuannya adalah ‘sampurnaning urip, sejatining mati’; yaitu kesempurnaan hidup dan kematian yang sejati. Maknanya ialah mengenai daya upaya untuk mengenal batin, sehingga tahu arti dan pada kebahagiaan dan penderitaan; kehidupan dan kematian serta asal maupun tujuan manusia. Di dalam pengetahuan inilah letaknya ketentraman hati yang diliputi damai sejahtera”.

7. “Pokok yang kedua adalah jalan kebatinan, yaitu usaha menyucikan batin dari pengaruh-pengaruh buruk yang berasal dari dalam, atau nafsu keakuan pribadi, dan dari luar, atau godaan terhadap pribadi”.

8. “Pokok yang ketiga adalah perilaku kebatinan, yaitu usaha untuk bertindak sesuai dengan kehendak Allah, Gusti Pangeran Hyang Tunggal, yang tersirat dalam sarana-sarana kebatinan, seperti:

Sasmita alam, ciri-ciri manusia dan budaya manusia; seperti kitab-kitab suci karya sastra pujangga dan kesenian. Semua itu adalah pengejawantahan dari pada budi nurani manusia yang jujur”.

9. “Pokok yang keempat adalah yang disebut sebagai puncak: yaitu mahkota kebatinan. Pada saat terjangkaunya mahkota ini terjadilah persatuan antara Pencipta dan yang dicipta: ‘Allah kamanungsan; manunggaling kawula lawan Gusti. Kesucian batin dan cinta kasih Tuhan, telah membuat manusia mengenal Allahnya. ‘Ciptaannya, rasanya dan karsanya’ menjadi sejalan dengan ‘titah lan sabda’ Hyang Gusti.

Maka pada saat seorang manusia menerima mahkota batin, berbahagialah dunia dan gembiralah manusia, karena wahyu keratuan telah tiba. Sesuai dengan kata-kata ungkapan ‘tumuruning wahyu jatmika, bakal tumuruning ratu adil, ngandhap lan luhur jumbuh’. Artinya, ‘turunnya wahyu Cahaya (batin), menandakan turunnya ratu adil, (semua manusia yang) tinggi (dan) rendah bersatu’. Adapun seseorang yang mendapat ‘wahyu jatmika’, seorang yang dapat menjadi pamong manusia. Sanggup ia mengutamakan kebahagiaan sesama, di atas pamrih pribadinya”.

10. Tibalah Panembahan Anyakrawati pada akhir uraiannya; bertepatan dengan puncak perayaan satu sura. Percakapan dilanjutkan, dan bubur satu surapun disantap bersama.

Beberapa waktu berlalu, kemudian para tamupun meninggalkan Sasana Agung Gitabhuwana untuk beristirahat. Para cantrik mulai membereskan ruangan, serta membersihkannya. Bagus Sriman merasa lelah, akan tetapi ia merasa seakan-akan ada kehangatan di hatinya.

[Back]

 

 

KEMBALI - RAGlAN VIII

 

1. Akhirnya tibalah waktu bagi Bagus Sriman untuk meninggalkan tempat perguruan, dimana ia telah menetap selama beberapa minggu itu. Sejak malam sebelumnya telah terasa berat hatinya untuk meninggalkan tempat yang telah menjadi bagian dari hidupnya itu. Tempat itu penuh kedamaian, keindahan dan kebijaksanaan; dan Bagus merasa cocok untuk sebenarnya tinggal disitu. Pada malam terakhir Bagus Sriman duduk-duduk dengan Hemban Sawung dan Dyah Gayatri di pendapa. Sesekali Bagus Sriman mencoba untuk bersenda gurau, akan tetapi rasanya kaku sekali. Akhirnya mereka duduk membicarakan musim hujan saja.

2. Sesungguhnya Bagus Sriman pernah memikirkan untuk menetap saja di Karang Tumaritis, akan tetapi ia merasa ada yang harus ia kerjakan di kota kediamannya.

Ia merasa panggilan hatinya adalah untuk berada di kaki gunung, bukan di puncaknya. Di tempat di mana sulit bagi orang untuk menaruh batasan antara baik dan buruk, benar dan salah. Di tempat di mana keuntungan kebendaan kadang-kadang lebih diutamakan daripada kebahagiaan batin. Walau hatinya merasa rusuh, kemantapan hatinya untuk kembali akhirnya membuatnya tenang, Sehingga dapat memincingkan matanya waktu ia membaringkan tubuhnya di atas tikar.

3. Pada waktu fajar hampir tiba, bunyi kentongan terdengar membangunkan mereka yang tidur. Bagus Sriman segera bangun dan mandi di pancuran bersama kawan-kawannya. Dinikmatinya air dingin yang membasahi tubuhnya dan diresapinya bunyi cicit burung di pohon, seakan ingin ditanamnya semua itu dalam kenangannya. Demikian pula dalam acara sembahyang pagi; khusuk ia mendengarkan setiap kata pujian bagi Tuhan dan prasetya yang dikumandangkan untuk mengabdi dunia. Perlahan-lahan keragu-raguan di hatinya mulai menghilang.

4. Sebelum tengah hari Bagus Sriman telah siap berangkat meninggalkan padepokan. Ia bermohon diri kepada Panembahan Anyakrawati, Kyai Pacingtowo, Ki Santayuda, Ki Tandayuda dan Nyi Ratu Mas Sekar; yang mengucapkan selamat jalan padanya dan juga memberikan doa restu mereka. Kemudian disalaminya semua cantrik yang kebetulan berada di situ. Setelah itu iapun berjalan menuju desa Karang Tumaritis, dengan diantar oleh Gayatri, Hemban Sawung dan Tunggul.

5. Setibanya di halaman rumah pak tani Ranutikna, Bagus Sriman bejabatan tangan dengan kawan-kawannya sambil mengucapkan kata-kata perpisahan. Lalu dinaikinya gerobak yang telah menunggu di situ. Gerobak berkuda itu lalu bergerak perlahan-lahan; Bagus Sriman dan kawan-kawannyapun saling melambaikan tangan.

Di kejauhan dilihatnya puncak Sasana Agung Gita Bhuwana, yang semakin lama semakin menjauh pula. Dirasanya keharuan yang menekan di hatinya.

6. Di sepanjang jalan hati Bagus Sriman mulai terhibur, karena susahlah untuk merasa sedih didalam gerobak kayu yang melewati jalanan tanah bergelombang, dan yang penuh dengan sayur-mayur. Selain daripada itu pemandangan alam yang indah serta cerita pak Ranutika mengenai kebun sayur dan anak istrinya membuat lupa pada kesedihannya. Demikianlah orang hidup itu seharusnya. Perlu kemantapan hati untuk meninggalkan yang telah lama dan menuju ke masa depan. Maka kemantapan hati ini dapat melahirkan kebijaksanaan menuju ke keberhasilan. Seperti terlihat dalam ungkapan bahasa Batak “Taripar Tunggul Natigar”, yang artinya kira-kira bahwa “hanya dengan kebijaksanaan, tujuan atau tempat seberang akan dicapai”.

7. Beberapa saat diperjalanan akhirnya tibalah mereka di kota kecil di kaki gunung. Bagus Sriman mengucapkan terima kasih pada pak Ranutika, lalu berpisahlah mereka. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya menuju ke daerah Batu, tempat diselenggarakannya kebaktian tahunan dan dipelajarinya Kitab Suci. Sebelumnya memasuki kota Malang dilewatinya kecamatan Singasari, yang pada jaman dahulu menjadi pusat pemerintahan raja-raja turunan Ken Arok; yang memerintah dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwa bhumi setelah mengalahkan Kertawijaya Dandang Gendis dalam pertempuran Ganter. Dua orang raja Singasari turunan Ken Arok yang paling ternama adalah Wisnuwardhana, dan putranya Sri Kertanegara.

8. Sri Kertanagara adalah raja di Nusantara yang pertama kali berusaha membentuk persatuan raja raja di negeri kepulauan itu. Dialah yang mengirimkan tentara Singasari untuk menundukkan ke rajaan Melayu di Jambi Dharmasraya, dalam peristiwa yang dikenal dengan nama Pamalayu. Dialah pula raja yang berani menolak permintaan kaisar Kubhilai Khan untuk menyatakan diri sebagai raja bawahannya. Akan tetapi masa pemerintahan Sri Kertanagara yang agung itu tamat oleh karena pengkhianatan Jayakatwang, yang bercita-cita menjadi raja. Adapun Nararya Sanggramawijaya, pendiri kerajaan Majapahit, jadilah keponakan dan menantu Sri Kertanagara

9. Kurang lebih satu minggu Bagus Sriman berada di Batu. Setelah selesainya acara bersiaplah ia untuk kembali ke kota kediamannya. Iapun menuju ke Surabaya dan di sana naik ke atas kereta tanpa kuda, yang bunyinya menggemuruh sewaktu berjalan di atas jalanan besi yang mengalungi pulau Jawa dari ujung ke ujungnya.

Semalaman kereta itu menggelinding mencapai tujuan, hingga tiba pada pagi harinya di kota Bandung. Dari sana lalu Bagus Sriman menuju ke pantai utara, melintasi bukit-bukit tanah Parahyangan yang hijau indah, meliwati kota-kota Cianjur dan Sukabumi.

10. Di desa Caringin Bagus Sriman berhenti untuk bermalam, karena dirasanya lelah. Sebelum berangkat tidur ia bertemu dengan seorang laki-laki, yang menceritakan kepadanya mengenai riwayat daerah Caringin. Mengenai Prabu Siliwangi yang beristirahat di desa itu dalam pelawatannya meninjau daerah-daerah kerajaan Pejajaran; mengenai riwayat perguruan pencak silat Cimande; mengenai tempat-tempat keramat dan pusaka-pusaka yang tersembunyi di daerah itu dan mengenai Ramalan Caringin Kurung.

11. Demikianlah kata ramalan Caringin Kurung

“Pada saat yang telah diketahui akan terjadi pohon beringin akan tumbuh terkurung lalu kemakmuran tiba di daerah Caringin, semua berkecukupan, semua bersuka cita”.

Kemudian timbul di Pelabuhan Ratu sumber kekayaan mengundang para pencari harta untuk datang melalui jalan lurus dari Caringin kepinggir pantai yang saat ini dipersiapkan para roh halus.

Di sanalah akan didapat sebuah kapal menjadi tempat berkumpul para pencari harta. Lalu kapal itu berbayar dan tenggelam bersama penumpangnya ditelan segara selatan.

Setelah itu bangkitlah seorang ratu wanita Untuk memimpin rakyat Caringin menghadapi perang dengan negeri Banten dalam pertempuran terakhir yang menentukan”

13. Keesokan paginya Bagus Sriman meninggalkan desa Caringin menuju ke Batu Tulis, dekat kota Bogor. Di sana dikunjunginya sebuah tempat pemakaman dan ditaburkannya bunga di atas dua buah nisan makam leluhur-leluhurnya. Kemudian dilanjutkannya perjalanan menuju pantai utara.

14. Di terik panas matahari di keramaian dan ketergesaan manusia, kesibukan mencari untung dan menjalani kehidupan sehari-hari; yang kesemuanya itu menariknya untuk terus melangkah maju. Maju membawa dirinya, maju hingga sampai ke tujuan.

[Back] 

 

AJARAN PUJANGGA KYAI RANGGAWARSITA

 

Pembukaan :

“Amenangi jaman edan

ewuh aya ing pambudi

Melu edan nora tahan

yen tan melu anglakoni

boya kaduman melik

Kaliren wekasanipun

Dilalah karsa Allah

Begja-begjane kang lali

luwih begja kang eling lawan waspada”

(pupuh 7, Sent Kalatidha)

Terjemahan :

“Mengalami jaman gila

sukar sulit (dalam) akal ikhtiar

Turut gila tidak tahan

kalau tak turut menjalaninya

tidak kebagian milik

kelaparanlah akhirnya

Takdir kehendak Allah

sebahagia-bahagianya yang lupa

lebih berbahagia yang sadar serta waspada”. 

 

 

- Syair jaman edan, dimana manusia kehilangan dasar sikap dan perilaku yang

   benar.

- Di dalam Serat Kalatidha, Sabda Pranawa Jati Ki pujangga melihat kesusahan

   yang  terjadi pada jaman itu . . .

“Rajanya utama, patihnya pandai dan menteri-menterinya mencita-citakan kesejahteraan rakyat serta semua pegawai-pegawainya cakap. Akan tetapi banyak kesukaran-kesukaran menimpa negeri; orang bingung, resah dan sedih pilu, serta dipenuhi rasa kuatir dan takut. Banyak orang pandai dan berbudi luhur jatuh dari kedudukannya. Banyak pula yang sengaja menempuh jalan salah . . . harga diri turun . . . akhlak merosot. Pada waktu-waktu seperti itu berbahagialah mereka yang sadar/ingat dan waspada”

- Menghadapi jaman seperti itu Ki Ronggowarsito memberikan petuah-petuahnya,

   yaitu yang dapat disebut sebagai empat pedoman hidup.

 

I. Tawakal marang Hyang Gusti

-  Pedoman yang pertama; yaitu kepercayaan iman dan pengharapan kepada

    Tuhan. - 

-  Pedoman inilah yang menjadi dasar hidup, perilaku dan karya manusia.

    Pupuh-pupuh

(1). “Mupus papasthening takdir, puluh-puluh anglakoni kaelokan”

(pupuh 6, Kalatidha).

Arti :

“Menyadari ketentuan takdir, apa boleh buat (harus) mengalami keajaiban”

Manusia hidup harus menerima keputusan Tuhan. 

 (2) “Dialah karsa Allah, begja-begjane kang lali, luwih becik eling lawan waspada”

(pupuh 7, Kalatidha)

Arti :

- “Memanglah kehendak Allah, sebahagia-babagianya yang lupa, lebih bahagia 

    yang sadar ingat dan waspada.

- Manusia harus selalu menggantungkan diri kepada kehendak (karsa) Allah.

- Karsa atau kehendak Allah itu seperti yang tersirat dalam ajaran agama, kitab

   suci, hukum-hukum alam, adat istiadat dan ajaran leluhur. 

(3) “Muhung mahasing ngasepi, supaya antuk parimirmaning Hyang suksma”

 (pupuh 8, Kalatidha)

 

Arti:

“Sebaiknya hanya menjauhkan diri dari keduniawian, supaya mendapat kasih sayang Tuhan”.

 

-   Di kala ingin mendekatkan jiwa pada Tuhan, memang pikiran dan nafsu harus

   terlepas dari hal keduniawian.

- Supayantuk: Supaya dilimpahi Parimirmaning Hyang suksma; Kasih sayang

  Tuhan.

(4) “Saking mangunah prapti, Pangeran paring pitulung”

(pupuh 9, Kalatidha)

Arti :

“Pertolongan datang dari Tuhan, Tuhan melimpahkan pertolongan”.

 

- Hanya Dia, Puji sekalian alam, Gembala yang baik, yang dapat menolong manusia

   dalam kesusahannya.

- Mangunah      :  Pertolongan Tuhan

   Prapti              : Datang.

(5) “Kanthi awas lawan eling, kang kaesthi antuka parmaning suksma”

(pupuh 10, Kalatidha)

Arti:

“Disertai dasar/awas dan ingat, bertujuan mendapatkan kasih sayang Tuhan”.

(6) “Ya Allah ya Rasululah kang sifat murah lan asih”

(pupuh 11, Kalatidha)

Arti :

“Ya Allah ya nabi yang pemurah dan pengasih.”

 

(7) “Badharing sapudendha, antuk mayar sawatawis, borong angga suwarga mesti martaya”

(pupuh 12, Kalatidha)

“(Untuk) urungnya siksaan (Tuhan), mendapat keringanan sekedarnya, (sang pujangga) berserah diri (memohon) sorga berisi kelanggengan”.

- Pengakuan kepercayaan bahwa pada Tuhanlah letak kesalamatan manusia.

 

Pupuh-pupuh tambahan:

(8) “Styakenang naya atoh pati, yeka palayaraning atapa, gunung wesi wasitane tan kedap ing pan dulu ning dumadi dadining bumi, akasa mwang; riya sasania paptanipun, jatining purba wisesa, tan ana lara pati kalawan urip, uripe tansah tunggal”.

(pupuh 88, Nitisruti)

Arti:

“Bersumpahlah diri dengan niat memakai tuntunan (akan) mempertaruhkan nyawa, yaitulah laku orang bertapa di (atas) gunung besi (peperangan) menurut bunyi petuah. Tak akan salah pandangannya terhadap segala makhluk dan terjadinya bumi dan langit serta segala isinya. Sekaliannya itu sifat Tuhan; tak ada mati, hiduppun tiada, hidupnya sudah satu dengan yang Maha suci”.

- Karya sastra Nitisruti ditulis oleh Pangeran di Karangayam (Pajang), pada tahun

  saka atau 1591 M.

- Mengenai tekad untuk mengenal Tuhan dan rahasiaNya.

- Mengenal kekuasaan di balik ciptaan-Nya, karena sudah bersatu dengan Gusti-Nya.

(9) “Sinaranan mesu budya, dadya sarananing urip, ambengkas harda rubeda, binudi kalayan titi, sumingkir panggawe dudu, dimene katarbuka, kakenan gaibing widi...”.

(Dari serat Pranawajati)

Arti:

“Syaratnya ialah memusatkan jiwa, itulah jalannya di dalam hidup, menindas angkara yang mengganggu, diusahakan dengan teliti, tersingkirkanlah perbuatan salah, supaya terbukalah mengetahui rahasia Tuhan . . .”

- Serat Pranawajati ditulis oleh Ki R.anggawarsita

- Pupuh ini menjelaskan jalan kebatinan untuk mencapai (rahasia) Tuhan.

 

(10) “Pamanggone aneng pangesthi rahayu, angayomi ing tyas wening, heninging ati kang suwung, nanging sejatine isi, isine cipta kang yektos”.

(Dari serat Sabda Jati)

Arti:

“Tempatnya ialah di dalam cita-cita sejahtera, meliputi hati yang terang, hati yang suci kosong, tapi sesungguhnya berisi, isinya cipta sejati”.

(11) Demikianlah orang yang dikasihi Tuhan, yang selalu mencari-Nya untuk memuaskan dahaga batin. Ia akan berbahagia dan merasa tentram sejahtera; sadar akan arti hidup maupun tujuan hidup manusia. Pembawaannya rela, jujur dan sabar; ‘pasrah, sumarah lan nanima’; berbudi luhur dan teguh dihati. 

 

II. Eling lawan Waspada

- Pedoman yang kedua; yaitu sikap hidup yang selalu sadar-ingat dan waspada.

- Pedoman inilah yang menjaga manusia hingga tidak terjerumus ke dalam lembah kehinaan dan malapetaka.

Pupuh-pupuh :

(1) “Dilalah karsa Allah, begja-begjane kang lali luwih becik kang eling lawan waspada”

(Pupuh 1, Kalatidha)

Arti :

“‘Takdir kehendak Allah, sebahagia-bahagianya yang lupa, lebih bahagia yang sadar /ingat dan waspada.”

 

(2) “Yen kang uning marang sejatining kawruh, kewuhan sajroning ati, yen tan niru nora arus, uripe kaesi-esi, yen niruwa dadi asor”.

(Pupuh 8, Sabda Jati)

Arti:

“Bagi yang tidak mengetahui ilmu sejati bimbanglah di dalam hatinya, kalau tidak meniru (perbuatan salah) tidak pantas, hidupnya diejek-ejek, kalau meniru (hidupnya} menjadi rendah”.

(3) “Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung, anggelar sekalir-kalir, kalamun temen tinemu, kabegjane anekani, kamurahaning Hyang Monon”.

(Pupuh 9, Sabda Jati)

Arti :

“Tidak percaya kepada gaib Tuhan, yang membentangkan seluruh alam, kalau benar-benar usahanya, mestilah tercapai cita-citanya, kebabagiaannya datang, itulah kemurahan Tuhan”.

- Serat Sabda Jati adalah juga ditulis oleh pujangga Ki Ranggawarsita.

- Pupuh 8 membicarakan keragu-raguan hati karena melihat banyak orang menganggap perbuatan salah sebagai sesuatu yang wajar.

- Akan tetapi bagi yang sadar/ingat dan waspada, tuntunan Tuhan akan datang membawa kebahagiaan batin.

(4) “Mangka kanthining tumuwuh, salami mung awas eling, eling lukitaning alam, dadi wiryaning dumadi, supadi nir ing Sangsaya, yeku pangreksaning urip”.

(Pupuh 83, Wedhatama)

 

Arti :

“Untuk kawan hidup, selamanya hanyalah awas dan ingat ingat akan sasmita alam, menjadi selamatlah hidupnya, supaya bebas dari kesukaran, itulah yang menjaga kesejahteraan hidup”.

(5) “Dene awas tegesipun, weruh warananing urip, miwah wisesaning Tunggal, kang atunggil rina wengi, kang makitun ing sakarsa, gumelar ngalam sekalir”

(Pupuh 86, Wedhatama)

Arti :

“Adapun awas artinya, tahu akan tabir di dalam hidup, dan kekuasaan Hyang Maha Tunggal, yang bersatu dengan dirinya siang malam, yang meliputi segala kehendak, disegenap alam seluruhnya”

- Wedhatama ditulis oleh Pangeran Mangkunegara IV.

 

(6) Demikianlah sikap hidup yang berdasarkan “Eling lawan waspada”; yaitu selalu mengingat kehendak Tuhan sehingga tetap waspada dalam berbuat; untuk tidak mendatangkan celaka. Kehendak Tuhan mendapat dicari/ditemukan di dalam hukum alam, wahyu jatmika yang tertulis dalam kitab suci maupun karya sastra, adat-istiadat, nasehat leluhur/orang tua dan cita-cita masyarakat.

(7) “Eling” juga berarti selalu mengingat perbuatan yang telah dilakukan, baik maupun buruk, agar “waspada” dalam berbuat. Berkat sikap “eling lawan waspada” ini, terasalah ada kepastian dalam langkah-langkah hidup.

 

III. Rame ing gawe.

- Pedoman hidup yang ketiga, yaitu hidup manusia yang dihiasi daya-upaya dan

   kerja keras.

-  Menggantungkan diri pada wasesa dan karsa Hyang Gusti adalah sama

   dengan menerima takdir.

Karena siapakah yang dapat meriolak kehendak Nya?

1. Ada tertulis:

“Tidak ada sahabat yang melebihi (ilmu) pengetahuan

Tidak ada musuh yang berbahaya dan pada nafsu jahat dalam hati sendiri

Tidak ada cinta melebihi cinta orang tua kepada anak-anaknya

Tidak ada kekuatan yang menyamai nasib, karena kekuatan nasib tidak tertahan oleh siapapun”.

(Ayat 5, Bagian II Kitab Nitiyastra).

2. Tetapi apakah kekuatiran atau ketakutan akan nasib menjadi akhir dan pada usaha atau daya upaya manusia? Berhentikah manusia berupaya apabila kegagalan menghampiri kerjanya?

3. “.... Karana riwayat muni, ikhtiar iku yekti, pamilihe reh rahayu, sinambi budi daya, kanthi awas lawan eling, kang kaesthi antuka parmaning suksma”

(Pupuh 10, Kalatidha)

 

Arti :

“…. Karena cerita orang tua mengatakan, ikhtiar itu sungguh-sungguh, pemilih jalan keselamatan, sambil berdaya upaya disertai awas dan ingat, yang dimaksudkan mendapat kasih sayang Tuhan”.

- Menerima takdir sebagai keputusan terakhir, tidak berarti mengesampingkan ikhtiar sebagai permulaan daripada usaha.

4. “Kuneng lingnya Ramadayapati, angandika Sri Rama Wijaya, heh bebakal sira kiye, gampang kalawan ewuh, apan aria ingkang akardi, yen waniya ing gampang, wediya ing kewuh, sabarang nora tumeka, yen antepen gampang ewuh dadi siji, ing purwa nora ana”

(Tembang Dandanggula, Serat Rama)

Arti :

“Haria sehabis haturnya Ramadayapati (Hanoman), bersabdalah Sri Rama : Hai, kau itu dalam permulaan melakukan kewajiban, ada gampang dan ada sukar, itu adalah (Tuhan) yang membuat. Kalau berani akan gampang; takut akan yang sukar, segala sesuatu tidak akan tercapai. Bila kau perteguh hatimu, gampang dan sukar menjadi satu, (itu) tidak ada, tidak dikenal dalam permulaan (usaha)”

5. Demikianlah, takdir yang akan datang kelak tidak seharusnya menghentikan usaha manusia. Niat yang tidak baik adalah niat “mencari yang mudah, menghindari yang sukar”. Semua kesukaran atau tugas harus dihadapi dengan keteguhan hati. “Rame ing gawe” dan “Rawe-rawe rantas malang-malang putung” adalah semangat usaha yang lahir dari keteguhan hati itu.

Catatan:

Pupuh ke empat adalah cuplikan dari serat Rama, yang ditulis oleh Ki Yosadipura.

(1729 – 1801 M)

 

IV. Mawasdiri:

- Pedoman hidup yang keempat, yaitu perihal mempelajari pribadi dan jiwa sendiri;

   yang merupakan tugas semua mamusia hidup.

Pupuh-pupuh:

1. “Wis tua arep apa, muhung mahasing ngasepi, supayantuk parimirmaning Hyang Suksma”.

(Pupuh 8, Kalatidha)

Arti :

“Sudah tim mau apa, sebaiknya hanya menjauhkan diri dari keduniawian, supaya mendapat/kasih sayang Tuhan”.

- Nasehat agar tingkat orang yang telah berumur menunjukkan martabat.

2. “Jinejer neng wedhatama, mrih tan kemba kembenganing pambudi, sanadyan ta tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti sepi asepi lir sepah samun, samangsaning pakumpulan, gonyak-ganyuk ngliling semi”

(Pupuh 2, Pangkur, Wedhatama)

Arti:

“Ajarannya termuat dalam Wedhatama, agar supaya tak kendor hasrat usahanya memberi nasehat, (sebab) meskipun sudah tua bangka, kalau tak ketahuan kebatinan, tentulah sepi hambar bagaikan tak berjiwa, pada waktu di dalam pergaulan, kurang adat memalukan”

 

3. “…. Pangeran Mangkubumi ing pambekanipun.

Kang tinulad lan tinuri-luri, lahir prapteng batos, kadi nguni ing lelampahane, eyang tuwan kan jeng senopati, karem mawas diri, mrih sampurneng kawruh.

Kawruh marang wekasing dumadi, dadining lalakon, datan samar purwa wasanane, saking dahat waskitaning galih, yeku ing ngaurip, ran manungsa punjul”

(Dari babad Giyanti)

Arti :

“....Pangeran Mangkubumi budi pekertinya. Yang ditiru dan dijunjung tinggi, lahir sampai batin, seperti dahulu sejarahnya, nenek tuan kanjeng senopati gemar mawas diri untuk kesempumaan ilmunya.

Ilmu tentang kesudahan hidup, jadinya lelakon, tidak ragu akan asal dan kesudahannya (hidup), karena amat waspada di dalam hatinya, itulah hidup, disebut manusia lebih (dari sesamanya)”.

- Babad Giyanti ditulis oleh pujangga Yasadipura I. Isinya memberi contoh tentang seseorang yang selalu mawas diri, yaitu Panembahan Senopati.

4. Mawas diri adalah usaha meneropong diri sendiri dan dengan penuh keberanian mengubah pribadinya. Maka inilah asal dan akhir dari pada keteguhan lahir dan batin.

5. “Laku lahir lawan batin, yen sampun gumolong, janma guna utama arane, dene sampun amengku mengkoni, kang cinipta dadi, kang sinedya rawuh”.

(Dari babad Giyanti)

Arti :

“Amalan lahir dan batin, bilamana sudah bersatu dalam dirinya, yang demikian itu disebut manusia pandai dan utama, karena ia sudah menguasai dan meliputi, maka yang dimaksudkan tercapai, yang dicita-citakan terkabul”.

6. “Nadyan silih prang ngideri bumi, mungsuhira ewon, lamun angger mantep ing idhepe, pasrah kumandel marang Hyang Widi, gaman samya ngisis, dadya teguh timbul).”

(Tembung Mijil, Dari babad Giyanti)

Arti :

“Meski sekalipun perang mengitari jagad, musuhnya ribuan, tetapi asal anda tetap di dalam hati, berserah diri percaya kepada Tuhan, semua senjata tersingkirkan, menjadi teguh kebal.”

 

7. Demikianlah ajaran Ki Ranggawarsita, yaitu mengenai empat pedoman hidup.

Begitulah orang yang menggantungkan dirinya kepada kekuasaan Tuhan dan menerima tuntunan-Nya. Ia akan memiliki kepercayaan pada diri sendiri, tetapi tanpa disertai kesombongan maupun keangkaraan.

Cita-cita kemasyarakatan.

1. Ki pujangga Ranggawarsito mencita-citakan pula datangnya jaman Kalasuba, yaitu jaman pemerintahan Ratu Adil Herucakra. Karena itu beliau merupakan seorang penyambung lidah rakyatnya, yang menciptakan masyarakat “panjang punjung tata karta raharja” .... “gemah ripah loh jinawi” ….loh subur kang sarwa tinandur” dimana “wong cilik bakal gumuyu”.

2. Tiga hal yang pantas diperjuangkan, untuk menegakkan pemerintahan Ratu Adil; yaitu: Bila semua meninggalkan perbuatan buruk, bila ada persatuan dan bila hadir pemimpin-pemimpin negara yang tidak tercela lahir batinnya.

3. “Dengarlah!”

4. “Ninggal marang pakarti tan yukti, teteg tata ngastuti parentah, tansah saregep ing gawe, ngandhap lan luhur jumbuh, oaya ana cengil-cengil, tut runtut golong karsa, sakehing tumuwuh, wantune wus katarbuka, tyase wong sapraya kabeh mung haryanti, titi mring reh utama”.

(Dari Serat Sabdapranawa)

Arti :

“Meninggalkan perbuatan buruk, tetap teratur tunduk perintah, selalu rajin bekerja, bawahan dan atasan cocok-sesuai tak ada persengketaan, seia sekata bersatu kemauan, dari segala makhluk, sebab telah terbukalah, tujuan orang seluruh negara hanyalah kesejahteraan, faham akan arti ulah keutamaan”

 

5.  “Ngarataning mring saidenging bumi, kehing para manggalaningpraya, nora kewuhan nundukake, pakarti agal lembut, pulih kadi duk jaman nguni, tyase wong sanagara, teteg teguh, tanggon sabarang sinedya, datan pisan nguciwa ing lahir batin, kang kesthi mung reh tama”.

(Tembang Dandanggula, Serat Sabdapranawa)

Arti:

“Merata keseluruh dunia; sebanyak-banyak pemimpin negara tak kesukaran menjalankan perbuatan kasar-halus; kembalilah seperti dahulu kala, tujuan orang seluruh negara, tetap berani sungguh, boleh dipercaya segala maksudnya, tak sekali-kali tercela lahir batinnya, yang dituju hanyalah selamat sejahtera”.

6. Demikianlah yang dicita-citakan pujangga agung Ranggawarsita. 

[Back]

 

 

 

REFERENSI — SUMBER -- PUSTAKA

 

I.          Syair Tripama-Karangan Pangeran Mangkunegara IV.

II.         Lima belas tabiat Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit.

            Seperti yang ditulis oleb pujangga Mpu Prapanca.

III.        Syair-syair mengenai Panembahan Senopati dari Kitab Wedhatama;

            Karangan Pangeran Mangkunegara IV

IV.       Ajaran Sri Rama :

a. Nasihat Sri Itama kepada Barata

b. Nasihat Sri Rama kepada Gunawan Wibisana atau Hasthabrata.

V.        Sebelas azas Kepemimpinan :

Dirumuskan dalam seminar TNI/AD pada tahun

1966.

VI.       Bait-bait sekar Megatruh — Karya Susuhunan - Pakubuwana IV.

VII.      Ajaran Raden Mas Sasrakartana.

VIII.     Prasasti Mataram — di Taman Mini.

IX.       Petunjuk “Aksara” Jawa — dari “Serat Wirid”

X.        Uraian mengenai 20 petunjuk “Aksara”

Dan serat Sastragending; karya Sultan Agung

Prabu Anyakrakusuma.

 [Back]

 

 

 

 

Syair Tripama

Karangan Pangeran Mangkunegara IV.

 

1.   Bahasa Jawa.

“Yogyanira kang para prajurit, lamun bisa sira anuladya, duk ing nguni caritane, andel ira Sang Prabu Sasrabahu ing Maespati, aran patih Suwanda, lalabuhanipun, kang ginelung triprakara, guna kaya purun ingkang den antepi, nuhoni trah utama”.

 

Bahasa Indonesia.

“Wahai semua prajurit, contohlah segala tingkah laku, kesetiaan dan ketaatan seorang senopati bernama Suwanda yang sangat dibanggakan, oleh sang Prabu Harjuna Sasrabahu di Maespati, yang mencakup tiga soal.

Pertama “Kepandalan (ilmu)”; Kedua “Kekayaan akan akal”, pikiran dan siasat peperangan dan Ketiga “Kebenaran” yang penuh dengan semangat patriotik; inilah yang disebut manusia utama”.

 

2. Babasa Jawa.

“Lire lalabuhan triprakawis, guna bisa sanes kareng karya, binudi dadya unggule, kaya sayektinipun duk bantu prang Manggada nagri, amboyong putri damas katur ratunipun, purune sampun tetela, aprang tanding lan ditya Ngaka nagri, Suwanda mati ngrana”.

 

Bahasa Indonesia.

“Adapun yang dimaksud dengan tiga contoh pengabdian tersebut, adalah guna (berarti) dapat melaksanakan segala hal, dan diusahakan menjadi keunggulannya, kaya (berarti) ketika (membantu) melakukan perang ke negara Magada, dan berhasil memboyong/merebut putri domas (Citrawati dan 800 pengiringnya) untuk dipersembahkan kepada rajanya dan purun/berani/kemauan adalah seperti tampak jelas di kala dengan gagah berani perang melawan raksasa (Rahwana) dari negri Alengka, dan Sumantri gugur dalam medan perang”.

 

3. Bahasa Jawa.

“Wonten malih tuladan prayogi, satriya guna nagri ing Ngalengka, Sang Kumbakarna arane, tur iku warna diyu,suprandene nggayuh utami, duk wiwit prang Ngalengka, dennya darbe atur, Mring raka amrih raharja. Dasamuka tan kengguh ing aturyekti, mengsah wanara”.

 

Bahasa Indonesia

“Ada lagi teladan yang patut dicontoh, seorang ksatria agung dari negeri Alengka, bernama Kumbakarna, walaupun ia berwujud raksasa, namun berbudi utama (luhur), sejak perang Alengka, ia selalu mengingatkan kepada kakaknya demi keselamatan negara, namun Rahwana tidak mau berubah pendiriannya untuk melawan prajurit kera”.

 

4. Bahasa Jawa.

“Kumbakarna kinon mansah jurit, mring kang raka sira tan lenggana, nglungguhi kasatriyane, ing tekad datana sujud, amung cipta labuh nagari, lan noleh yayah rena nyang leluhuripun, wus mukti haning Ngalengka mangke, arsa rinusak ing bala kapti punagi mati ngrana”.

 

Bahasa Indonesia

“Kumbakarna setelah, mendengar perintah dari kakaknya, untuk melawan musuh yang menyerang negaranya, berangkat tanpa mendak karena memegang teguh sifat keksatriaannya, walaupun di dalam hatinya sesungguhnya tidak setuju akan perbuatan kakaknya yang salah, tetapi dia tetap berangkat ke medan perang dengan maksud untuk membela negara, keluhuran keluarga, leluhurnya dan bangsanya. Maka ia bersemboyan lebih baik mati dalam medan peperangan dari pada hidup mewah di Alengka tetapi (di rusak) prajurit kera”.

 

5. Bahasa Jawa.

“Wonten malih kinarya palupi, Suryaputra narpati Ngawangga, lan Pandawa tur kadange len yayah tunggil ibu suwita mring Sri Kurupati, nagri Ngastina kinarya gul agul, manggala golonganing prang, Bratayuda ingadeken sepopati, ngalaga ing Kurawa”.

Bahasa Indonesia.

“Adalagi teladan yang pantas dicontoh, Suryaputra seorang Narpati dari Awangga, dengan Pandawa yang masih bersaudara, lain ayah tetapi sekandung (sama ibu), yang dengan setia mengabdi kepada Prabu Kurupati dari negeri Astina sebagai agul-agul (benteng), panglima perang, dalam perang Bratayuda menjadi senopati (perang) untuk membela Kurawa”.

 

6. Bahasa Jawa

“Den mungsuhken kadange pribadi, aprang tanding lan Sang Dananjaya, Sri Karna suka manahe, dene nggenira pikantuk, marga denya arsa males sih-ira Sang Duryudana, marmanta kalangkung, denya ngetok kasudirane, aprang rame Karna mati jinemparing, sembaga wiratama”.

Bahasa Indonesia.

“Sang Karna gembira mendengar perintah rajanya yang melawan saudaranya sendiri berperang dengan Sang Arjuna, karena inilah satu-satunya jalan untuk dapat membayar budi, rajanya yang telah memberi derajad, pangkat, kenikmatan duniawi, maka berangkatlah dengan kekuatan yang ada kemedan pertempuran guna menunaikan tugas senapatinya dan akhirnya Adipati Karna gugur dalam medan pertempuran sebagai perwira utama”.

 

7. Bahasa Jawa.

“Katri mangka sudarsaneng jawi, pantes agung kang para prawira, amirata sakadare, ing lelabuhanipun, hawya kongsi buang palupi, manawa tibeng nista, ina estinipun senadyan tekading budya, tan prabeda budi panduming dumadi, marsudi ing Kautaman”

Bahasa Indonesia.

“Ketiga contoh itu merupakan teladan di jawa, yang pantas jikalau semua para prajurit dapat menghayati sekuasanya, dalam pengabdiannya terhadap (kerajaan), jangan sampai melalaikan contoh-contoh baik, jika jatuh kelembah nista, hina, kemauannya; walaupun sentausanya budi tidak ada lain hendaknya berusaha sesuai dengan harkat hidupnya, berusaha dalam keutamaan”. 

 

Lima belas tabiat Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit.

Seperti yang ditulis oleh pujangga Mpu Prapanca.

1.         Wijaya                            : Berlaku bijaksana dan penuh hikmat dalam meng

  hadapi kesukaran-kesukaran yang genting.

2.         Mantriwira                    : Pembela negara yang berani.

3.         Wicaksanengnaya     : Bijaksana dalam segala tindakan.

4.         Matanggwan                : Yang dipercaya; yaitu oleh rakyat dan negara.

5.         Satya bhakti aprabu   : Memiliki hati yang tulus ikhlas dalam berbakti

                                                        kepada negara dan Sri mahkota.

6.         Wagmi wag                   : Pandai berkata-kata dengan penuh keyakinan.

7.         Sarjjawopasama          : Tingkah laku yang memperlihatkan kerendahan hati;

                                                        bermuka manis; tulus dan ikhlas; lurus dan sabar.

8.         Dhirotsaha                     :  Bekerja dengan sungguh-sungguh dan rajin serta

                                                        dengan  keteguhan hati; maka di dalam hati yang    

                                                         teguh itu pula terlihat  keberanian dan kesetiaan.

9.         Tan lalana                       : Selalu bersikap gembira . . . . apabila sedih hati 

                                                         tak memerlukan hiburan dari luar; lekas bangun

                                                          tegak dan selalu bertindak cepat. 

10.       Diwya citta                    :  Berhati baik dalam berhubungan dan selalu bersedia

                                                         mendengarkan berbagai-bagai pendapat orang.

11. Tan Satrsna                         :  Tidak mencari kesenangan dan gairah birahi untuk

                                                        diri sendiri.

12. Masih I Samasta bhuwana:  Mengasihi seisi dunia.

13. Ginong pratidina                 :  Melakukan yang baik dan meninggalkan perbuatan 

                                                           yang  tidak sempurna.

14. Sumantri                                :  Pengabdi negara yang pantas ditiru dan    

                                                            berperilaku sempurna.

15. Anayaken musuh                :  Membinasakan musuh (yang mengacau dan

                                                           menghalangi kemajuan negara).

[Back]

 

 

 

Pujian terhadap Panembahan Senopati dari tembang Macapat, Pupuh II, Sinom, ayat 1 s/d 6, serat Wedhatama; Karangan Pangeran Mangkunegara IV.

 

1. Bahasa Jawa.

“Nulada laku utama

tumraping wong tanah jawi

wong agung ing ngeksiganda

Panembahan Senopati

kapati armarsudi

sudaning hawa lan nafsu

Pinesu tapa brata

Tanapi ing siang ratri Amamangun karyenak tyasing sasama.

 

Bahasa Indonesia.

“Contohlah perbuatan yang baik sekali (yang dapat dijadikan contoh/teladan) bagi penduduk di pulau jawa ialah tokoh besar dan Mataram, yaitu Panembahan Senopati. Beliau dengan sungguh sungguh mengusahakan bagaimana caranya mengendapkan hawa nafsu, yang diusahakan dengan sepenuh hati dengan jalan bertapa. Baik siang maupun malam (beliau selalu berusaha) mewujudkan perasaan senang hatinya (pada) sesama”.

 

2. Bahasa Jawa

‘Samangsane pasamuan

mamangun marta martini

sinambi ing saben mangsa

kala kalaning ngasepi

lalana teki-teki

ngGayuh geyonganing kayun

kayungyun eninging tyas

sanitasa pinrihatin

Pungguh panggah cegah dhahar

lawan nendra”

Babasa Indonesia.

“Ketika berada dalam pertemuan, jika memperbincangkan segala sesuatu dengan lemah lembut. Selain dari itu kapan saja beliau mempunyai kesempatan, yakni sewaktu-waktu tidak ada kesibukan, maka beliau lalu berkelana melakukan tapa, berusaha mencari idam-idaman hati, sehingga senantiasa diusahakannya dengan penuh kesungguhan. Beliau tetap bertahan memegang teguh pendiriannya; berpantang makan dan mencegah tidur.

 

3. Bahasa Jawa

“Saben nendra saling wisma

lalana laladan sepi

Ngisep sepuhing sopana

Mrih pana pranawing kapti

titising tyas marsudi

Mardawaning budya tulus

Mesu reh kasudarman

Neng tepining jalanidhi

Sruning brata kataman wahyu

djatmika”.

 

Bahasa Indonesia.

“Setiap kali pergi meninggalkan rumah (istana) tan berkelana dilingkungan daerah yang sunyi, tujuannya ialah untuk meresapi lapisan dari tiap tingkatan (ilmu), agar supaya benar-benar dapat mengerti dan benar-benar dapat memahami maknanya. Kesenyapan hatinya dimanfaatkan untuk menempa jiwa agar mendapatkan kesadaran yang abadi. Dan selanjutnya memeras kemampuan (untuk mendapatkan) perihal cara-cara memegang kendali pemerintahan (yang berpegang teguh pada suatu pedoman) Cinta kepada sesama manusia. (Usaha dan pengarahan segala daya tersebut diatas) dilakukan ditepi laut.

Berkat kerasnya bertapa akhirnya mendapatkan wahyu (= uraian atau petunjuk Tuhan tentang ilmu gaib, atau nurbuat anugerah Tuhan)’ yang agung.”

 

4. Bahasa Jawa.

“Wikan wengkaning samodra

Kederan wus den ideri

Kinemat kamot ing driya

Rinenem sagegem dadi

Dumadya angratoni

Nenggih kanjeng Ratu Kidul

ndedel nggayuh nggagana

Umara matek maripih

Sor prabawa lan Wong Agung Ngeksi

ganda”.

 

Bahasa Indonesia

“Telah mengetahui segala sesuatu yang terkandung dalam lautan. Lagi pula seluruhnya sudah di kelilingi, kemudian direnungkan dan dimasukkan dalam hati, digenggam menjadi satu genggaman, sehingga berhasillah beliau menjadi raja. Tersebutlah kemudian Kanjeng Ratu Kidul menjulang mencapai angkasa, kemudian mendekat, datang menghadap dan menghibur dengan suara lemah lembut karena ia kalah wibawa dengan tokoh agung dari Mataram.”

 

5. Bahasa Jawa.

 “Dahat denita aminta

Sinupekat pangkat kanthi

Jroning alam palimunan

Ing pasaban sepen sepi

Sumanggem anyanggemi

Ing karsa kang wus tinamtu

Pamrihe mung aminta

Supangate teki-teki

Nora ketang teken janggut suku jaja”

 

Bahasa Indonesia.

“(Kanjeng Ratu Kidul) sangat keras permintaannya, agar dipererat hubungannya dalam kedudukannya sebagai teman dalam alam gaib, di saat sedang berkelana ditempat sunyi, ia bersedia senantiasa dan tidak akan ingkar terhadap kehendak (Panembahan Senopati) yang sudah ditentukan. Apa yang diharapkan hanyalah memohon berkah tapanya, meskipun harus bersusah payah membanting tulang.”

 

6. Bahasa Jawa.

“Prajanjine abipraya

Saturun-turune ing wuri

Mangkono trahing ngawirya

Yen amasah mesu budi

Dumadya glis dumadi

Iya ing sakarsanipun

wong agung Ngeksiganda

Nugrahane prapteng mangkin

Trah tumerah darahe padha wibawa.

 

Bahasa Indonesia.

“Janji (Kanjeng Ratu Kidul itu) diikrarkan juga sampai pada keturunan (Panembahan Senopati) dikelak kemudian hari.

Demikianlah keturunan bangsawan luhur, jika menempa diri untuk mencapai kesempurnaan budi, tentu berhasil dan cepat terkabul apa saja yang dikehendakinya. Tokoh agung itu anugerahnya masih tampak hingga sekarang. Turun-temurun keturunannya mempunyai kedudukan yang mulia dan berkuasa.

 [Back]

  

AJARAN SRI RAMA

Berdasarkan “Serat Rama” atau Ramayana

Kakawin, yang disadur oleh pujangga

Yasadipura I dan diterjemahkan kedalam

Bahasa Indonesia oleh Kamajaya.

 

 

BARATA BERTAKHTA SEBAGAI

RAJA AYODYANEGARA

MELAKSANAKAN AMANAT DAN

AJARAN SANG BIJAKSANA RAMAWIJAYA

 

“Ketahuilah adinda, bahwa raja yang memimpin negara adalah pemimpin masyarakat dan sekaligus rakyatnya. Raja berkewajiban pula menjaga seluruh dunia.

Pedoman sebagai pegangan raja menjalankan kebijaksanaan adalah sebagai berikut:

1. Perhatikan dan ikutilah ajaran-ajaran kesatriaan. Peganglah sebagai pedoman kitab-kitab suci dan ikutilah perintah dalam kitab-kitab agama. Dengan berbuat demikian, niscaya akan datang kebahagiaan kepadamu.

2. Peliharalah rumah-rumah Dewa (agama), yang suci, rumah-rumah sakit dan tanah milik bangunan suci.

3. Peliharalah biara-biara dan perhatikanlah tempat-tempat suci dan rumah pedewaan. Jalan, pasanggrahan, air mancur, telaga, empang, tambak, pasar, jembatan dan segala apapun juga yang dapat membawa kesejahteraan rakyat, itu wajib adinda selenggarakan.

4. Pertanian wajib dikerjakan oleh raja dengan penuh perhatian terus-menerus. Dari pertanian ini datanglah segala macam bahan pangan yang sangat penting untuk negara.

5. Perbesarlah jumlah emas (harta) untuk biaya yang menuju kearah terjaminnya kebahagiaan. Adinda dapat mengeluarkan emas dan harta sesuka hatimu, asal saja untuk kebahagiaan rakyatmu. Ini berarti, bahwa dengan menjalankan darma (amal perbuatan), adinda juga membawa kebahagiaan untuk orang lain agar mengecap kenikmatan bersama.

6. Raja yang dihormati rakyat ialah raja yang tahu suka duka rakyatnya dengan sempurna dan terus menerus, begitu pula usahanya untuk mendengarkan kesusahan yang diderita oleh seluruh rakyat di negaranya. Sebab inilah kewajiban abadi seorang raja.

7. Tolonglah setiap orang diantara rakyatmu yang mengajukan keluh kesahnya dan janganlah diam. Adinda tidak boleh menghina siapapun juga, bahkan terhadap seseorang yang rendah sekalipun. Jangan menghina mereka yang minta pertolongan.

8. Cobalah untuk menjalankan kebijaksanaan pemerintahan yang baik, wahai adinda. Pertajamlah hatimu dan jadikanlah hal ini sebagian dari kebijaksanaanmu.

9. Susunlah rencanamu untuk waktu yang akan datang guna memelihara dunia dan menjamin berlangsungnya keamanan dan ketertiban.

10. Periksalah angkatan perangmu dan berilah latihan kepada tentaramu dan perhatikantah tentang kemahirannya. Siapa diantara mereka yang memperlihatkan kecakapan yang lebih dari yang lain, ia wajib dinaikkan pangkatnya. Sebaliknya yang memperlihatkan kekurangannya, wajib dilatih lebih mendalam.

11. Latihlah gajah, kereta perang, begitu pula kuda dan siapkanlah itu untuk menyerang.

12. Masukkanlah musuhmu dalam perangkap dan binasakanlah mereka itu dengan tali pemukulmu, sehingga mereka itu binasa seperti air yang mengering. Seranglah musuhmu dengan segala jalan dan segala perhitungan. Janganlah kamu tunda pembasmian orang-orang jahat.

13. Pahlawan yang dikatakan tidak ada bandingannya ialah apabila ia memiliki kekuatan seperti singa yang ditakuti dan apabila ia membunuh musuh dengan tepat.

14. Jauhkanlah dirimu dari orang-orang yang mempunyai perangai jahat, karena mereka itu menimbulkan kerusakan dan menyebabkan negara menjadi mundur. Bila adinda bersama mereka, maka pegawai yang baik menjauhimu, sedangkan teman-temanmu makin jauh dan musuhmulah yang dekat kepadamu.

15. Seorang pegawai itu buruk apabila ia acuh. Dengan demikian ia tak tahu hormat dan melanggar sopan santun. Ia dapat diumpamakan sebagai kambing yang takut dan hormat kepada pohon yang miring, ia dengan gembira memanjatnya dan dengan seenaknya serta tidak ragu-ragu berlari-lari diatas batangnya.

Pegawai jahat niscaya akan kelihatan dan jangan menaruh kepercayaan kepadanya.

16. Perhatikanlah gerak-genik mereka yang mengabdi kepadamu sebagai pegawal. Selidikilah tentang kepandaiannya dan kesetiaan mereka terhadap kamu. Apabila ia bertabiat baik dan memiliki sifat-sifat baik, ia harus kamu hargai, sekalipun ia masuk keturunan rendah. Lebih utama apabila kamu terima seorang dan keturunan baik-baik.

17. Perhatikan dan selidikilah sikap segala pegawaimu apakah mereka itu berpengetahuan dan tahu tentang kenegaraan dan pemerintahan, patuh dan berkelakuan baik, apakah tidak bohong dan berbakti serta taat dalam pengabdiannya kepadamu, kepada negara, dan apakah mereka tidak jahat?. Dalam hal ini adinda harus mengetahui apa yang buruk dan apa yang baik. Adinda dapat mencegah mereka dari perbuatan yang menyesatkan.

18. Setiap orang pegawal wajib tahu tentang kepegawaiannya dan ia harus setia kepada pemerintahnya. Begitu pula ia harus tahu tentang pekerjaannya dan tidak segan untuk membuat pekerjaan baik.

19. Janganlah lekas-lekas memberi hadiah kepada pegawai, sebelum adinda menyelidikinya. Apabila adinda memberi sesuatu kepadanya, berikanlah kepadanya lebih dahulu suatu tugas, sehingga mencapai hasil. Jika terbukti, bahwa ia tetap pendiriannya untuk mengabdikan dirinya kepadamu, ini berarti bahwa adinda disegani dan rakyatmu mencintaimu sebagai manikam yang sakti dan membawa kebahagiaan.

20. Apabila adinda tahu sungguh-sungguh yang adinda kerjakan, dapat dikatakan adinda memiliki pepengetahuan yang sempurna seperti Dewa-dewa. Siapa yang tahu tentang kepandaian, ialah yang disebut serba tahu.

21. Bebaskanlah diri dari hawa nafsu dan kedengkian. Jauhkanlah darimu dari kecemburuan dan bersihkanlah dirimu. Dengan jalan itu adinda akan di segani. Ketahuilah, bahwa raja yang memperlihatkan keangkuhan akan kehilangan kewibawaannya karena ditinggalkan oleh wahyunya.

22. Angkara murka wajib diberantas; demikian pula perbuatan tercela haus dibasmi.

23. Kekayaan lahiriah, harta, benda dan pangkat tidak boleh menimbulkan kemabukan lupa daratan. Semua itu boleh mendatangkan kesenangan yang terbatas.

24. Ajaran kitab-kitab Sastra harus dijalankan dengan tidak henti-hentinya. Sekalipun itu sukar dilaksanakan, namun setiap orang harus mentaatinya. Bilamana banyak orang taat dan tahu akan ajaran kitab-kitab suci serta berpegang kepadanya, maka mereka akan melahirkan pedoman kebenaran.

25. Tunjukkanlah keikhlasan hatimu apabila memberi hadiah kepada orang-orang brahmana dan pendeta yang terkemuka.

26. Cobalah selalu tenang dan berbelas kasihan dan janganlah menunjukkan ketakutan kepada apa dan siapa yang adinda takuti.

27. Jangan berdusta, sebab dusta menyebabkan kejahatan. Dengan demikian adinda akan menghadapi malapetaka dan akan dicela.

28. Apabila adinda mencela seseorang, kerjakan sendiri yang tepat dan janganlah adinda terlalu dikuasai oleh hawa nafsu. Sabda raja harus sesuai dengan perbuatannya. Perjudian dan perbuatan hina jangan adinda kerjakan.

29. Basmilah kemabukan pikiran yang angkuh; hilangkanlah itu dari hatimu, sebab keangkuhan itu mencemarkan dan menyuramkan penglihatan.

30. Kesaktian dan kepandaian menyebabkan kebahagiaan dan kenikmatan. Untuk memiliki kedua hal itu bukanlah ringan. Orang-orang baik yang berpengetahuan dan faham tentang kitab-kitab ini patut adinda hargai. Apabila adinda memiliki beberapa macam kepandaian, pastilah rakyat mencintaimu.

Jauhilah perbuatan mengadu domba dan pujian yang menyesatkan.

31. Apabila sesuatu kejahatan telah jelas bentuknya, bertindaklah apabila perbuatan itu memang salah, Binasakanlah orang yang berdosa. Akan tetapi selidikilah hal ini dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya apabila ia berjasa, berikan kepadanya hadiah dan kepuasan. Inilah hak raja untuk memberi anugerah atau memberi hukuman. 

32. Ada lima macam bahaya yang sungguh mengancam ialah:

1. Apabila ada pegawai yang dalam menunaikan tugas di daerah menderita karena

     terik  matahari.

2. Adanya sejumlah banyak pencuri;

3. Apabila kekacauan dan kejahatan merajalela;

4. Adanya orang-orang yang menjadi dan dijadikan “anak emas” pembesar.

    Kejadian seperti itu dapat dianggap sebagai kejahatan; dan

5. Keangkara-murkaan raja.

 

Lima macam bahaya itu harus dibasmi atau dicegah sebelum timbul dan merajalela

33. Ketahuilah adinda Barata, bahwa raja dapat diumpamakan batara Surya yang memanasi dunia oleh sifatnya. Demikianlah halnya dengan seorang raja yang membinasakan orang jahat. Bulan memberikan rasa cinta dan disegani oleh seluruh dunia Begitulah juga hendaknya perbuatan raja dalam memperhatikan dan memelihara rakyatnya.

34. Sebagai raja adinda dapat disamakan dengan sebuah bukit, sedangkan rakyatmu diumpamakan pohon-pohonan yang tumbuh di lerengnya. Pohon-pohon itu hidup dan dijamin hidupnya oleh bukit.

35. Adindaku Barata yang tercinta, itulah sesama kewajiban adinda sebagai raja yang berusaha menjaga keselamatan dunia yang bahagia. Adinda wajib mempertinggi perhatian kepada orang lain dan menaruh belas kasihan kepada rakyatmu, dan seluruh kesukaran duniapun harus adinda perhatikan.

Demikianlah nasihat wejangan sang bijaksana Ramabadra kepada adinda Barata yang direstuinya duduk di atas takhta Ayodyanegara sebagai raja memimpin tampuk pemerintahan, memimpin masyarakat dan rakyatnya.

Setelah bersembah sujud dengan khidmat kepada Rama dan Sinta, dan setelah satria Laksmana menyembah Barata, maka dengan ijin dan restu serta puji jaya-jaya dan kakandanya sang Ramawijaya, Barata dengan segenap pengiringnya turun dan bukit Citrakuta, kemudian berangkatlah meninggalkan hutan menuju ke ibukota Ayodya.

Kewajiban sebagai raja telah menantinya. Dengan merayakan “terompah sang Rama” dan menerapkan ajaran sang bijaksana, maka aman sentosa sejahteralah Ayodyanegara dibawah pemerintahan raja Barata.

 [Back]

 

 

 

WEJANGAN SRI RAMA KEPADA WIBISANA

 

Kemudian bersabdalah Sri Ramawijaya:

“Adinda kuangkat menjadi raja Lengkapura, bergelar Prabu Gunawan Wibisana, mewarisi takhta kerajaan yang adinda memang mempunyai hak sepenuhnya.

Kakanda harap kepada adinda Prabu, hendaklah adinda menepati darma seorang raja berdasarkan agama; sastra dan tuntunan kebijaksanaan. Memimpin kerajaan berarti memimpin negara. Hakekatnya juga memimpin masyarakat dan rakyat untuk mencapai kesejahteraan lahir dan batin.

Untuk dapat menjalankan darma itu, kakanda berikan pedoman yang disebut “Astabrata” yaitu sifat dari delapan Dewa sebagai berikut:

1. Indera Brata.

Laku Hyang Indera : Mendatangkan hujan dan menenteramkan dunia.

Maksudnya : Hendaklah adinda menghujankan hadiah yang banyak hingga menggenangi dunia.

Kandungannya : Meratakan peraturan dunia yang baik dan selalu menjaga kesejahteraan dunia. Tak ada orang yang tak dienaki hatinya.

 

2. Yama Brata.

Laku Hyang Yama : Menghukum perbuatan jahat, memukuli pencuri-pencuri di alam akhir .

Maksudnya : Hendaklah adinda menghukum orang yang salah yang berusaha merintangi ketentraman dunia.

Kandungannya Menghukum orang yang salah tanpa pilih-pilih, meskipun keluarganya sendiri. Selalu membasmi tindak rusuh hingga musna sama sekali.

 

3. Surya Brata.

Laku Hyang Surya : Selalu mengisap air tiada hentinya, perlahan-lahan.

Maksudnya : Hendaklah adinda memperoleh sesuatu hasil dengan tak tergesa-gesa. Kandungannya : Menghendaki segala sesuatu dengan perlahan tetapi tentu.

Tiada terasakan oleh yang terkena, namun berhasil. Hati lawan yang sudah takluk, dikembalikan kepada kepercayaannya untuk bangun kembali dan sanggup menjalankan darmanya.

 

4. Candra Brata.

Laku Hyang Candra : Menggembirakan seluruh dunia.

Maksudnya : Hendaklah adinda bertindak lemah lembut, tertawamu manis seperti amerta (air hidup). Hargailah orang-orang tua, para cerdik pandai dan para pendeta.

Kandungannya : Bertindaklah sabar, lemah lembut untuk menggembirakan orang seluruh dunia. Bangunkanlah hatinya hingga tiap orang sanggup beramal baik.

Itu mendatangkan kesetiaan kepadamu.

 

5. Bayu Brata

Laku Hyang Bayu : Mengetahui perbuatan-perbuatan jahat tanpa diketahui oleh orang yang berbuat.

Maksudnya: Hendaklah adinda bersifat luhur tanpa memperlihatkan yang demikian. Kandungannya : Mengintip dan mengetahui segala hal sampai yang kecil-kecil. Berilah hadiah dengan rela hati. Sanggup menghadapi segala sesuatu mengenai dirinya dengan tidak berubah pendirian. Sebaliknya selalulah memberi maaf.

 

6. Danaba Brata.

Laku Hyang Danaba (Kuwen) : Mengecap semua yang serba enak dan nikmat.

Maksudnya: Makan dan minumlah, berpakaian dan bersoleklah.

Kandungannya Mengadakan pesta untuk kesejahteraan negara dan menggembirakan orang. Bersikap baiklah kepada rakyat seperti terhadap anggauta keluargamu sendiri. Tetapi janganlah tenggelam dalam kenikmatan.

 

7. Pasa Brata.

Laku Hyang Baruna Memegang senjata Nagapasa

yang amat berbisa dan dapat membelit (mengikat)

Maksudnya : Hendaklah adinda menangkap semua penjahat.

Kandungannya : Hati teguh kuat, tak heran terhadap apapun.

Selalulah menghimpun kepandaian orang-orang untuk keselamatan dunia.

 

8. Bahni Brata.

Laku Hyang Brama : Selalu membakar musuh.

Maksudnya  : Hendaklah adinda ganas terhadap musuh, seranglah mereka hingga hancur lebur.

Kandungannya  : Bersifatlah seperti singa yang galak. Selalulah berkobar tak ada redanya dalam menghancurkan musuh. Namun juga waspadalah menjaga kepentingan dunia dengan kekerasan.

Demikianlah Prabu Gunawan Wibisana. Kakanda mohon kepada Dewata akan kesejahteraan Lengkapura dalam pimpinan adinda dan dilindungilah oleh Batara adinda sekeluarga, teguh kuat kesejahteraan dan perdamaian.

 [Back]

 

 

 

Sebelas azas kepemimpinan - dirumuskan dalam seminar TM/AD pada tahun 1966.

 

 

1. Takwa

Iman dan ketaatan pada Tuhan, 

2 Ing ngarsa sung tulada

Di depan memberi contoh; yaitu menjadi suri tauladan yang baik kepada anak buahnya. 

3. Ing madya mangun karsa

Di tengah-tengah turut giat dan menggugah semangat. 

4. Tut wuri handayani

Mempengaruhi dan mendorong dari belakang; yaitu tidak bersikap menggurui. 

5. Waspada purba wisesa

Waspada, mengawasi dan membetulkan. 

6. Ambeg parama arta

Memilih dengan tepat mana yang harus didahulukan 

7. Prasaja

Kesederhanaan. 

8. Sata

Kesetiaan yang timbal balik; yaitu sikap bawahan ke atasan, atasan ke bawahan dan ke samping. 

9. Gemi nastiti

Kesederhanaan dan kemampuan untuk membatasi penggunaan; serta pengeluaran segala sesuatu kepada yang benar-benar diperlukan. 

10. Belaka

Kemauan, kerelaan dan keberanian untuk bertanggung jawab. 

11. Legawa

Kemauan, kerelaan dan keikhlasan untuk menyerahkan tanggung jawab dan kedudukan pada waktunya.

 

 

 

 

Bait-bait sekar “megatruh” dari karya sastra “wulangreh”.

yang ditulis oleh Susuhunan Pakubuwana IV.

 

 

1. Bahasa Jawa.

“Wong ngawula ing ratu luwih pekewuh, nora kena minggrang-minggring. Kudu mantep sartanipun. Setya tuhu mring gusti. Dipun miturut sapakon”.

Bahasa Indonesia.

“Bila seseorang akan mengabdi kepada pemerintah jangan sampai setengah-setengah. Harus mantap. Setia kepada pemerintah/pimpinan. Melaksanakan segala perintahnya”.

 

2. Bahasa Jawa.

“Mapan ratu kinarya wakil Hyang Agung. Marentahken hukum adil. Pramila wajib den emut. Kang sapa kang anut ugi. Mring parentahe Sang Katong.

Bahasa Indonesia

“Pimpinan itu lambang wakil yang Mahakuasa, sebagai pengatur jalannya undang-undang negara. Oleh sebab itu harus ditaati perintahnya”

3.  Bahasa Jawa.

“Aprasasat mbadal ing karsa Hyang Agung. Mulane bab wong urip saparsa ngawuleng ratu. Kudu eklas lahir batin. Aja nganti nemu awoh”.

Bahasa Indonesia

“Bila tidak akan dikatakan sebagai pembangkang Menjadi prajurit itu harus berlandaskan iktikad baik. Ikhlas lahir batin.”

 

4. Bahasa Jawa.

“Ing wurine yen ta durung tuwayah. Angurta aja ngabdi. Becik ngidunga karuhun. Aja age-age ngabdi. Yen durung ikhlas ing batos . . . “

Bahasa Indonesia

“Bila tak ikhlas lebih baik menganggur saja tidak usah mengabdikan diri. Bebas semuanya . . . “

 

 

 

 

  

AJARAN RADEN MAS SASRAKARTANA

 

 

1. Anglurug tanpa bala, tanpa gaman

ambedah tanpa perang, tanpa pedang

menang tanpa mejahi, tanpa nyakiti

wenang tan ngrusak ayu, tan ngrusak adil

sinunggul sujud bekti marang sesami.

 

2. Angluhuraken bangsa kita,

tegesipun anyebar wineh budi jawi

gampilaken margining bangsa,

ngupaya papan panggesangan.

ambuka netra

tegesipun anutup netra

angukut kabeh

tegesipun anyandak siji.

 

6. Durung menang yen durung wani kalah

durung unggul yen durung wani asor

durung gede yen durung ngaku cilik.

 

7. Omong kosong - jima kantong bolong.

 

8. Nulung pepadane ora nganggo mikir.

wayah, waduk, kantong yen ana isi

lumantur marang sesami.

 

9. Aji pring

Susah pada susah

seneng pada seneng

Eling pada eling

pring pada pring.

 

12 Nopember 1931

 [Back]

  

 

 

PRASASTI MATARAM

 

I. Landasan diplomasi.

1. Kaya tanpa harta

2. Perang tanpa bala

3. Menang tanpa mengalahkan

4. Memberi tanpa kehilangan.

 

II. Landasan pribadi.

1. Sabar (pikiran)

2. Tenang (cara bertindak)

3. Saleh (berkat tuntunan Tuhan).

 

III. Landasan pimpinan.

1. Sifat raja :  Bijaksana, adil, berbelas kasihan

2. Sifat pendeta : Tajam otak, seakan-akan mengetahui sebelum diberitahu

3. Sifat petani : Bersahaja, jujur, tidak meluap.

 

IV. Landasan pengurus.

1. Jangan mudah heran

2. Jangan mudah terkejut

3. Jangan mentang-mentang.

 

V. Landasan ksatria sejati

1. Jangan mentang-mentang selagi kuat (seperti kancil yang terlalu percaya pada akalnya).

2. Jangan mentang-mentang selagi berkuasa (seperti gajah yang terlalu percaya pada tubuh besar).

3. Jangan mentang-mentang selagi kaya (sepert ular yang terlalu percaya pada manjurnya racun).

 

VI. Landasan Pergaulan.

1.Tidak mencari teman, tidak mencari pembantu; yang dicari kebaikan sejati, itulah paling utama. Teman dapat berpisah dan pembantu mungkin mencari untung. Kebaikan sejati itulah yang serba baik.

 

VII. Landasan menyembah.

1. Ingat kepada Tuhan yang menciptakan hidup.

2. Percaya kepada Tuhan yang menjadikan segala-galanya.

3. Taat terhadap semua perintah Allah.

 

VIII. Landasan pengabdian Tridarma.

1. Merasa terlibat dalam kepentingan umum.

2. Merasa bertanggung jawab untuk mempertahankannya.

3. Mawas diri dengan tahan hati.

 

(Dari Taman Mini Indonesia Indah).

 [Back]

 

  

 

 

PETUNJUK AKSARA JAWA DALAM SERAT WIRID

 

1.  Ha : Hananira sejatine wahananing Hyang

              Adanya pada hakekatnya adalah pendukung Hyang .... wujud atau

              kebenaran. 

2.  Na : Nadyan ora kasad mata pasti ana

              Meskipun tidak nampak oleh mata, tetapi ia pasti ada. 

3. Ca :  Careming Hyang yekti tan ceta wineca

              Nikmatnya Hyang yang sesungguhnya tak (dapat) diuraikan dengan jelas

              (mempergunakan kata-kata). Karena tak ada sesuatu yang menyerupai

              Hyang. 

4. Ra :  Rasakena rakete lan angganira

              Rasakanlah eratnya dengan badanmu 

5. Ka :  Kawruhanan jiwa kongsi kurang weweka

              Ketahuan dari jiwa jika kurang diusahakan. 

6. Da :  Dadi sasar yen sira nora waspada

               Jika tidak waspada (kau) akan menjadi sesat.

7. Ta :   Tamatna prabaning Hyang Sing Sasmita

                Perhatikanlah cahaya Hyang yang memberikan isyarat.

8. Sa :    Sasmitane kang kongsi bisa karasa

                Isyarat yang sampai dapat dirasakan.

9. Wa :   Waspadalah wewadi kang sira gawa

                Lihatlah dengan seksama (sifat) batin sesungguhnya yang anda bawa.

10. La :  Lalekna yen sira tumekeng lalis

                Lupakanlah pada waktu anda sampai pada kematian.

11. Pa :  Patisasar tan wus manggyapapa

                Kematian sesat yang tak sampai pada tujuan akan menjumpai

                kesengsaraan.

12. Dha : Dhasar beda lan kang wus kalis ing godha

                Pada dasarnya berbeda dengan (orang) yang telah tak terpengaruh oleh

                godaan.

13. Ja :  Jangkane mung jenak jemjeming jiwaraga

                Rencana tindakannya, hanya tahan tenteram didalam kebesaran jiwa.

14. Ya :  Yatnanana liyep luyuting pralaya

                Lihatlah dalam keadaan lupa-lupa ingat mengaburnya pralaya/kematian.

15. Nya : Nyata sonya nyenyet lebeting kadonyan

                Nyata (bahwa) sunyi senyap (segala) jejak keduniawian.

16. Ma : Madyen ngalam perantunan aja samara

                Ditengah “ngalam perantunan” janganlah ragu-ragu.

17. Ga : Gayuhaning tanaliyan jung sarwa arga

                Tak ada lain yang hendak dicapai kecuali segala “gunung” atau “jamuan”.

18. Ba : Bali murba wisesa ing njero njaba

                Kembali mengatur menguasai (segi) luar dan dalam.

19. Tha : Thukulane widadarja tebah nistha

                Tumbuhnya kekuatan hukum menembus kerendahan/kehinaan.

20. Nga : Ngarah-arah ing reh mardi-mardiningrat

                Berhati-hati dalam merencanakan pengaturan-mengatur dunia.

 

Uraian mengenai 20 petunjuk “aksara” - dari serat sastra gending; Karya Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma.

 

1. Sahasa Jawa.

“Kawuri pangertine Hyang, taduhira sastra kalawan gending, sokur yen wus sami rujuk nadyan aksara jawa, datan kari saking gending asalipun, gending wit purbaning kala, kadya kang wus kocap pinuji”.

Bahasa Indonesia.

“Pemusatan diri pada Hyang, petunjuknya berupa sastra (syariat) dan bunyi gending (Manipat). Jika telah disepakati (bersama), meskipun aksara jiwa tidak meninggalkan bunyi gending asalnya, bunyi gending sejak jaman purbakala, seperti yang telah diucapkan terdahulu.”

 

2. Bahasa Jawa

“Kadya sastra kalidasa, wit pangestu tuduh kareping puji, puji asaling tumuwuh, mirit sang akadiyat, ponang : Ha na ca ra ka : pituduhipun, dene kang : da ta sa wa la; kagetyan ingkang pinuji”.

Bahasa Indonesia

“Seperti halnya sastra (aksara jawa) yang dua puluh (adalah) sebagai pemula untuk mencapai kebenaran, yang mempatkan petunjuk akan makna puji, serta puji kepada segala sumber yang tumbuh (atau hidup); memberikan (mirit) ajaran akadiyat berupa ha na ca ra ka, petunjuknya. Sedang da ta sa wa la, adalah berarti kepada (kepada Tuhan)

yang dipuji”.

 

3. Bahasa Jawa.

“Wadat jati kang rinasan, ponang: pa da ja ya nya; angyekteni, kang tuduh lan kang tinuduh, pada santosanira, wahanane wakhadiyat pembilipun, dene kang : ma ga ba ta nga, wus kenyatan jatining sir”

Bahasa Indonesia

“Wadat jati yang dirasakan berupa: pa da ja ya nya; adalah yang menyaksikan bahwa yang memberi dan yang diberi petunjuk adalah sama teguhnya; tujuannya (adalah) mendukung dan akhadiyat, sedang: ma ga ba ta nga (berarti) sudah menjadi nyata (keadaan) sir yang sejati?’.

 

4. Bahasa Jawa.

“Pratandane Manikmaya, wus kenyatan kawruh arah sayekti, iku wus akiring tuduh, Manikmaya an taya, kumpuling tyas alam arwah pambilipun, iku witing ana akal, akire Hyang Maha Manik”.

Bahasa Indonesia.

“Tanda (daripada) Manikmaya (terlihat) juga sudah nyata pengetahuan akan tujuan yang sesungguhnya, itulah akhir dari pada petunjuk; Manik Maya adalah Tiada/Taya (suwung) (yaitu) bersatunya hati dengan alam arwah; itulah saat mulanya ada akal, dan adalah akhir dari pada Hyang Maha Manik”.

 

5. Bahasa Jawa.

“Awale Hyang Manikmaya, gaibe tan kena winoring tulis, tan arah gon tan dunung, tan pesti akir awal, manembahing manuksmeng rasa pandulu, rajem lir hudaya retna, trus wening datanpa tepi”.

Bahasa Indonesia.

“Kegaiban dari awal Hyang Manikmaya tak dapat diramu atau diungkap dengan tulisan, tiada awal dan tiada tempat, tiada arah dan tiada akhir; sembahnya (dengan) melebur ke dalam rasa penglihatan, (bersifat) tajam bagaikan pucuk manikam, jernih tembus tak bertepi”.

 

6. Bahasa Jawa.

“Iku telenging paningal, surah sane kang sastra kalih desi, lan mirit sipati rong puluh, sipat kahananing dat, ponang akan durung ana ananipun kababaring gending akal, Manikmaya wus kang ngelmi”.

 

Bahasa Indonesia

“Itulah pusat penglihatan, makna daripada dua puluh aksara, dan (juga) mengajarkan sifat dua puluh, sifat keadaan Dat, ketika akal belum mengada (ada) terurai dalam kata-kata (yang) menyatakan akal, Manikmaya itulah Ngelmi”. 

1 Sura 1915

1 Muharam 1403 H

18 Oktober 1982

[Back]

 

[Ben Poetica]

 

COLDA Air Minum Sehat               COLDA Mineral Spring Water              Sumber Air Pegunungan diproses secara Higienis      *** COLDA ***

 

Air Minum_C O L D A_ Air Minum 

Mineral Drinking Water

Hubungi Customer Service :

Jl. Palmarah Barat No. 353 / Blok B2 Jakarta Selatan

Phone: (62-21) 530 4843, 7062 1108

Pengelola Baktinendra Prawiro, Retno Kintoko

Pengelola Baktinendra Prawiro, Retno Kintoko