1999

 

***************************************************************************************************************************   

   

   

   

   

    

Kapitalisme, Sosialisme, Humanisme, dan  Idealisme

 

Di tengah perdebatan abadi antara kapitalisme, dengan sistem ekonomi pasar bebasnya, dan sosialisme, dengan sistem ekonomi terkendalinya, terdapat masalah utama yang bersifat sangat fundamental. Masalah utama tersebut, dan berbagai masalah terkait lainnya, tersimpul secara komprehensif dalam sebuah pertanyaan pokok. Pertanyaan tersebut berbunyi:  Apakah penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, serta penghargaan terhadap hak-hak azasinya, senantiasa menempati kedudukan yang sentral, sehingga manusia akan menjadi subyek dan bukan obyek dari sistem yang sedang dikembangkan itu?  Karena bukankah pernah dikatakan bahwa agama, atau apapun juga, dibuat untuk manusia dan bukan sebaliknya bahwa manusia dibuat untuk agama, atau hukum, sistem, negara, dan sebagainya (01/11/1999). Pertanyaan pokok ini perlu untuk diingatkan terus-menerus kepada dan oleh masyarakat, karena kecenderungan yang seringkali terjadi dalam proses pembangunan sebuah sistem, baik sistem perekonomian maupun sistem kemasyarakatan lainnya, adalah justru kebalikannya. Pada saat sebuah sistem telah menjadi semakin mapan, dan berbagai mekanisme serta prosedur pelaksanaan kegiatan di dalamnya menjadi  semakin baku, pada saat itulah pula manusia menjadi semakin diperhamba. Kebebasannya dalam bertindak menjadi semakin dibatasi dan kemerdekaannya untuk berpikirpun semakin dikendalikan. Manusia menjadi alat dan diperalat oleh sistem yang membentuk kepribadiannya. Ia bukan lagi sepenuhnya tuan atas dirinya sendiri, melainkan hamba yang dibiarkan hidup dalam ilusinya sebagai tuan. Setelah kehilangan kepribadiannya yang mandiri kemudian ia  mengenakan kepribadian tiruan yang telah dirancang bagi dirinya.  Demikianlah pada dasarnya persoalan yang sesungguhnya, yaitu bahwa di dalam mengusahakan ketertiban dan keteraturan pada hidupnya, manusia sering-kali terpaksa menaruh dirinya di dalam sebuah sistem yang akan menuntut kepatuhannya. Ia dituntut untuk melaksanakan tanggung-jawabnya dengan bekerja menurut cara yang telah ditetapkan, dalam waktu yang telah ditentukan dan dengan hasil yang telah ditargetkan. Sehingga iapun harus menyesuaikan diri bila ingin melakukan hal-hal yang disukainya atau berhubungan dengan kepentingan dirinya sendiri.  Dalam keterpaksaan ia melakukan penyesuaian-penyesuaian, akan tetapi pada akhirnya dan tanpa disadarinya pula, ia kemudian bahkan merasa bangga dengan kepribadian dan kehidupan yang telah dibuat bagi dirinya. Ia telah mengalami transformasi diri yang tuntas dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem di mana ia ada, hidup, dan bergerak. Hanya pada saat-saat tertentu, yaitu ketika ia sedang berada dalam keadaan sangat intim dengan hati nuraninya, ia diingatkan kepada sesuatu  yang dahulu pernah dimilikinya dan kini telah hilang. Apabila kesempatan ini sering-kali terjadi, maka di dalam hatinya mulai tertabur benih-benih perlawanan terhadap sistem yang selama ini telah mengendalikannya. Apalagi bilamana sebuah sistem juga terbukti gagal untuk memperlakukan seluruh anggota masyarakatnya secara adil. Pada saat itulah akan semakin bertumbuh rasa ketidak-puasan diri, yang akan berkembang menjadi rasa keterasingan diri. Sehingga akhirnya benih-benih perlawanan di dalam diri manusia berubah menjadi pemberontakan terhadap sistem. Karena merasa tersempal dari sistem yang selama ini telah menghidupi dirinya, dan telah ia patuhi dengan setia, ia lalu melihat dua pilihan di hadapannya.  Berjuang untuk merubah sistem tersebut atau berkemas untuk meninggalkannya dan berpindah memasuki sistem lainnya, yaitu yang ia rasakan lebih sesuai bagi dirinya.

 

Kapitalisme, yang secara lebih halus disebut sebagai sistem ekonomi pasar, adalah salah satu dari berbagai sistem yang pernah di kenal dalam sejarah umat manusia. Sebagai sebuah tatanan sosial, politik, dan ekonomi yang utuh kapitalisme juga memiliki ciri-ciri kulturalnya yang khas. Bagi mereka yang kurang bersimpati kepada kapitalisme, oleh  karena alasan apapun, akar organik dari kultur kapitalisme akan dianggapnya sebagai komersialisme yang ditopang oleh egoisme, materialisme, dan hedonisme. Sebaliknya menurut para pendukung kapitalisme, yaitu mereka yang sedikit atau banyak telah merasakan manfaatnya dalam kehidupan mereka. Kapitalisme, yang didirikan di atas hak-hak azasi manusia untuk memiliki kekayaan (property), menggandakan permodalan (equity), mengembangkan daya-cipta (creativity), meningkatkan hasil karya (productivity), mengusahakan keuntungan (profitability), dan mendapatkan kepuasan diri (utility), adalah sistem yang telah terbukti cukup tahan uji. Oleh karena sistem inilah manusia dapat menjadi sangat kreatif di dalam mengembangkan bukan hanya usahanya,  akan tetapi juga dirinya. Sehingga dengan jiwa kewiraswastaan (entrepreneurship), dan berbagai penemuan baru (innovation), peradaban manusia dan perkembangan dunia dapat terus menerus maju. Bahwa selalu ada bagian dari umat manusia yang tertinggal, dan bahkan terpuruk dalam sebuah masyarakat ekonomi pasar, adalah sebuah kejanggalan yang bersifat sementara dan akhirnya akan lenyap. Oleh karena itu adalah lebih baik untuk terus mengembangkan sebuah sistem ekonomi yang telah dikenal, sambil memperbaiki kekurangan-kekurangannya, daripada mengejar  sebuah sistem impian yang belum terbukti kehandalannya.

 

Kompetisi atau persaingan, yang merupakan kekuatan inheren kapitalisme, dan telah membuatnya mampu untuk bertahan sebagai sistem, adalah sebuah prinsip yang didorong oleh semangat primitif untuk menang. Oleh sebab itu mereka yang menang di dalam bersaing dianggap layak untuk mendapatkan penghargaan dan hadiah, sedangkan mereka yang kalah tentunya menjadi pihak yang harus membayar harganya. Demikian pula pihak-pihak lainnya yang terlibat di dalam sebuah persaingan bebas, merekapun mau tidak mau akan berada pada pihak yang kalah atau yang menang. Terlepas apakah keterlibatan pihak-pihak lain tersebut bersifat langsung atau tidak langsung. Situasi akhir yang dihasilkan akan cenderung buruk bagi pihak-pihak yang kalah, terutama bila keadaan ekonomi sedang berjalan stagnan. Sebaliknya bila ekonomi sedang bertumbuh dan berkembang, berbagai peluang yang baru akan selalu dapat ditemukan oleh pihak-pihak yang kalah tersebut. Demikianlah, semakin jelas terlihat bahwa dari rahim kompetisi pada sistem kapitalisme telah lahir budaya konflik yang terlembagakan. Pada saat-saat yang terburuk, yaitu ketika perekonomian sedang berada dalam keadaan mundur, kecenderungan konflikpun akan menjadi semakin menajam. Bahkan menimbulkan benturan-benturan keras, yang akan semakin memperburuk keadaan pada saat sebuah ekonomi sedang terlanda krisis yang panjang. Adapun suatu krisis ekonomi dapat dianggap parah apabila pada saat yang bersamaan terjadi stagnasi dalam pertumbuhan, kenaikan harga yang tinggi tak terkendali, pengangguran yang terus meningkat, dan neraca perdagangan yang tidak menghasilkan sisa lebih (surplus).  Situasi yang berat biasanya akan dirasakan menimpa kelompok-kelompok dalam masyarakat yang kecil atau terbatas posisi tawarnya. Padahal ketika ekonomi sedang berkembang dan bertumbuh, belum tentu merekalah yang akan menikmati porsi yang terbanyak. Para pemilik modal, khususnya mereka yang telah berhasil mengembangkan bentuk-bentuk perdagangan oligopoli dan monopoli, adalah pihak yang jarang terlibat dalam penderitaan sosial. Mereka adalah kelompok elite yang berusaha keras untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi, bukan hanya dalam rangka meningkatkan nilai usaha mereka, akan tetapi juga demi menjaga ketertiban dalam ordo ekonomi bersama. Maka melalui ordo ekonomi tersebut pula seluruh tatanan sosial dan politik masyarakat dikembangkan. Bahkan dijaga kestabilannya agar tidak mengganggu proses pembakuan sistem dan transformasi individu manusia di dalam sistem tersebut. Demikianlah, semakin tampak bahwa pada akhirnya tujuan kapitalisme, baik pada tatanan nasional maupun global, adalah pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dalam rangka meningkatkan kekayaan dan kekuasaan. Sedangkan kekuasaan yang dimaksud di sini adalah kewenangan untuk menerapkan dominasi, melakukan manipulasi, dan meningkatkan utilisasi atas manusia pekerja, konsumen, dan pembayar pajak. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, keuntungan para pemilik modal, dan kekuasaan para elite politik.

 

Para pendukung sosialisme, yang biasanya merupakan bagian dari kelompok yang terkalahkan, ditambah unsur masyarakat yang berpandangan idealis, pada dewasa ini lebih bersikap menerima terhadap sistem ekonomi pasar. Namun demikian mereka cenderung untuk mencari kemungkinan-kemungkinan yang dapat ditemukan, dalam rangka menciptakan sistem ekonomi pasar yang berciri sosialis atau berkeadilan sosial. Oleh sebab itu seperti juga para pendukung sistem ekonomi pasar pada umumnya merekapun menganggap penting pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang berkesinambungan. Akan tetapi mereka menganjurkan agar kompetisi diimbangi dengan koperasi, konflik dilunakkan dengan kompromi, dan krisis diatasi dengan kontrol. Sehingga untuk itu pemerintah dan lembaga-lembaga internasional yang ada perlu diberi wewenang yang lebih besar. Walaupun pendekatan tersebut dapat menimbulkan biaya operasional yang besar, dan bahkan distorsi-distorsi pasar, menurut mereka hasil yang diperoleh tetap akan lebih besar. Dengan pendekatan kebijakan seperti itu akan timbullah kebutuhan untuk fungsi kontrol atau pengendalian, yang akan melahirkan sebuah elite birokrasi dengan kewenangan yang akan semakin meningkat.  Apalagi dengan semakin berkembangnya masalah-masalah bernuansa keadilan sosial yang harus ditangani oleh penguasa. Demikianlah akhirnya kewenangan kemudian berkembang menjadi kekuasaan, yaitu untuk menerapkan dominasi, melakukan manipulasi, dan meningkatkan utilisasi dari semua atau sebagian besar individu dalam masyarakat

 

Pada dasarnya sistem ekonomi pasar, dengan atau tanpa modifikasi berorientasi sosial, belum tentu akan mampu untuk mengatasi dua masalah pokok. Pertama, bagaimana meningkatkan peran manusia individu dalam kelangsungan sistem di mana ia berada, bukan hanya oleh berdasarkan keberhasilannya, akan tetapi juga oleh karena kontribusi yang telah diberikannya. Kedua, bagaimana mengembangkan keadilan sosial dan memeliharanya, terutama di kala suatu perekonomian sedang mengalami kemunduran. Sehubungan dengan pokok yang pertama kesulitannya adalah oleh karena sering-kali asumsi dasar yang digunakan  menganggap  massa rakyat sebagai pihak yang tidak mempunyai kemampuan. Sedangkan individu-individu yang tergolong non-elite adalah kelompok yang harus dipimpin, dan bukan memimpin, oleh karena berbagai keterbatasan dan tidak adanya kriteria keberhasilan yang dapat dijadikan tolok ukur. Sedangkan mengenai pokok yang kedua pada hakekatnya sistem ekonomi pasar justru ingin mengurangi pengeluaran-pengeluaran yang cenderung akan menimbulkan dampak distorsi. Sehingga yang dibutuhkan oleh sebuah masyarakat adalah kegiatan sosial, bukannya keadilan sosial yang cenderung dianggap sebuah konsep yang bersifat abstrak. Bilamana kepincangan-kepincangan ini  terus berlanjut, dan kemudian diperparah dengan kurang berhasilnya program-program pemerataan kesempatan dan pemberdayaan masyarakat, proses marjinalisasi dan alienasi pada sebagian masyarakat akan semakin meningkat pula. Sehingga dalam ketertinggalan dan keterpurukannya sebagian besar anggota masyarakat akan mengambil sikap berlawanan dengan sistem yang ada. Kesadaranpun akan bangkit pada diri mereka untuk menghancurkan dominasi, manipulasi, dan utilisasi (atau eksploitasi) atas diri mereka yang telah berlangsung  selama  ini.

 

Dengan semakin kompleksnya permasalahan-permasalahan hidup, khususnya dalam konteks globalisasi perekonomian yang sedang berlangsung, semakin terlihat pula bahwa seringkali solusi-solusi atas persoalan-persoalan sosial dan ekonomi yang ada bersifat sangat parsial.  Berusaha mempertahankan rumus-rumus lama, yang cenderung melindungi kepentingan para pemilik kapital dan kelompok birokrasi politik, pada akhirnya hanya akan berujung pada kegagalan. Oleh sebab itu jalan keluar yang perlu dicari bukanlah lagi pendekatan-pendekatan ekonomi teknokratis semata-mata, akan tetapi perluasan demokrasi dalam pengertian yang sesungguhnya. Demokrasi formal, legal, dan  konstitusional perlu dilembagakan menjadi demokrasi fungsional yang akan berlangsung di seluruh tatanan masyarakat. Proses demokratisasi harus semakin dikokohkan melalui desentralisasi kekuasaan, debirokratisasi pemerintahan, dan deregulasi perekonomian dalam konteks federalisasi sistem kenegaraan atau pembentukan wilayah-wilayah otonom dalam suatu negara. Sebagai pelengkap bagi proses tersebut, program-program afirmatif untuk memberdayakan seluruh lapisan masyarakat perlu dirancang secara tepat dan terarah baik. Sehingga akhirnya seluruh bagian masyarakat akan mempunyai posisi tawar yang semakin meningkat. Maka tujuan akhir inilah kiranya yang akan dapat mengurangi praktek-praktek dominasi, manipulasi, utilisasi, dan eksploitasi atas masyarakat oleh kelompok-kelompok elitenya(03/11/1999). 

[Back]

 

 

[Ben Poetica] - [Karya Carita]

 


 

 Copyright©soneta.org 2004  
 For problems or questions regarding this web contact
[admin@soneta.org] 
Last updated: 08/06/2015